Lihat ke Halaman Asli

Pabrik Es Berusia 123 Tahun Tak Layak Jadi Cagar Budaya?

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak adakah yang menginginkan Pabrik Es Sari Petojo tetap sebagai Pabrik Es?

[caption id="" align="aligncenter" width="360" caption="Tidak adakah yang menginginkan Pabrik Es Sari Petojo tetap sebagai Pabrik Es? sumber : www.solopos.com"][/caption] Itu adalah hasil dari tim independen yang ditunjuk oleh Pemrpov Jawa Tengah dan Pemkot Surakarta untuk menyelidiki status "Benda Cagar Budaya" Pabrik Es Sari Petojo. Tim ini terdiri dari tujuh orang, yaitu Prof Eko Budihardjo (ketua) dan Prof Totok Rusmanto dari Undip, Soedarmono dan Bambang Triratma dari UNS, Dr Amiluhur Soeroso dan Sektiadi dari UGM, serta Gutomo dari BP3 Jateng. Belakangan diketahui bahwa Soedarmono keluar dari tim itu karena tidak menyetujui hasil dari kelompoknya tersebut. Anehnya lagi, di dalam tim itu ada perwakilan dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah, padahal BP3 sendiri telah menyatakan Sari Petojo sebagai Benda Cagar Budaya sejak tahun 1962, walaupun belum terregistrasi di Kementerian Budaya dan Pariwisata. Apakah dasar dari pernyataan tim independen itu tentang ketidaklayakan Sari Petojo sebagai Benda Cagar Budaya? Menurut Prof Eko, ketua tim independen itu,  "Penilaian suatu bangunan layak sebagai cagar budaya didasarkan pada berbagai aspek, tak hanya sebatas aspek kesejarahan." Beliau berujar ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam menilai cagar budaya, yakni estetika, kejamakan, kelangkaan, keistimewaan, dan peran terhadap kawasan, di samping aspek kesejarahan itu sendiri. "Dari tolok ukur itu, bangunan Saripetojo hanya menonjol dalam aspek kesejarahan. Namun aspek-aspek lain, seperti estetika, kejamakan, kelangkaan, keistimewaan, dan peran terhadap kawasan tidak bernilai tinggi," katanya (Solopos, 8 Juni 2011). Sekedar diketahui, bentuk bangunan asli pabrik yang dibangun tahun 1888 memang sudah tidak ada lagi. Pada tahun 1953 sempat terbakar kemudian dibangun lagi tahun 1959 sampai akhirnya selesai pada tahun 1969 dengan ditambah beberapa renovasi pada tahun 1970-an. Namun, selama kurun waktu seabad lebih itu, fungsinya sebagai pabrik es masih tetap dilestarikan dan dipertahankan hingga muncul keputusan Pemprov Jateng untuk memberhentikan pabrik itu beberapa waktu yang lalu (demi mendirikan mal di atasnya!). Sayangnya, Prof Eko (kepada media massa) tidak memperinci mengapa Pabrik Es Sari Petojo tidak memenuhi estetika, kejamakan, kelangkaan, keistimewaan, dan peran terhadap kawasan? Menurut Prof Eko,  “Bentuk bangunannya hanya seperti gudang saja. Tidak memiliki ornamen yang unik,” (Tempointeraktif.com, 8 Jui 2011). Okelah, mungkin secara estetika pabrik itu tidak ada lengkung-lengkung dengan mahkota raja bak rumah-rumah ala Mediterranean, toh estetika kan relatif sekali. Emang batasannya harus yang bagaimana agar diangaap estetik? Kejamakan? Maksudnya apa ya? Kalau kelangkaan, bukankah Pabrik Es Sari Petojo memang langka ya? Apakah ada tempat lain yang ada pabrik es yang bisa bertahan selama 123 tahun? Lalu apa istimewanya dari pabrik ini? Kesejarahannya lah yang membuatnya istimewa, selain telah menghantarkan rakyat Solo dalam kemajuan pada abad 19 dan awal abad 20, pabrik ini juga telah menjadi lumbung kehidupan rakyat Solo saat dinasionalisasi pada zaman revolusi kemerdekaan. Kalau poin peran terhadap kawasan? Lah, sudah jelas sekali bagaimana pabrik ini sangat berperan dalam dinamika warga Solo sehingga menjadi salah satu ikon kota Solo. Dari sini saya  berpikiran positif bahwa tim independen tersebut tentu bertindak atas Undang-undang atau peraturan yang berlaku. Yang menjadi pertanyaan (keheranan) saya, sudah bereskah Undang-undang tersebut? Apakah UU Benda Cagar Budaya hanya mengatur pelestarian bangunan fisik dari bangunan saja tanpa mengatur pelestarian fungsi bangunan itu? Sepertinya saya belum pernah membaca suatu ayat atau pasal dari Undang-undang tersebut mengenai pelestarian terhadap fungsi bangunan. Mungkin memang benar, Undang-undang Benda Cagar Budaya kita hanya mengatur Benda Cagar Budaya secara fisik saja, sementara aspek fungsionalnya dibiarkan menurut kehendak yang mengelola bangunan itu. Konsekuensinya, ada beberapa 'bangunan' lain yang juga terancam dialihfungsikan karena tidak ada perlindungan Undang-undang itu. Misalnya saja Gedung Wayang Orang Sriwedari, yang telah ada sejak 100 tahun yang lalu pada zaman Paku Buwono X. Gedung yang ada sekarang bukan gedung lama yang didirikan PakuBuwono X zaman dulu. Sama seperti kasus pabrik es Sari Petojo, kemungkinan suatu saat para pemain wayang orang di sana bisa saja  digusur dan diberhentikan seperti halnya karyawan Pabrik Es Sari Petojo. Kalau ahli waris keraton jadi membangun mal (lagi) atau hotel di atas gedung itu, kita tidak bisa apa-apa karena bangunan lama sudah tidak ada walaupun masih berfungsi sama seperti saat pertama didirikan. Sepertinya fungsi sebagai pabrik es dianggap tidak penting, mengingat sekarang sudah banyak pabrik es, dan mungkin karena pabrik es dianggap bukan suatu bentuk budaya. Namun, kalau orang yang berpendapat seperti itu hidup 100 tahun yang lalu, mungkin akan berganti pikiran. Atau mungkin kembali pada zaman revolusi kemerdekaan dimana Indonesia baru berdiri dan butuh dana untuk menghidupi rakyat. Salah satu aset kota Solo saat itu adalah Pabrik Es Sari Petojo yang ternyata sangat membantu menghidupi warga se-Solo Raya saat itu. Pihak Perusda Sari Petojo terkesan tidak memiliki 'greget' untuk mengelola pabrik es yang telah melewati tiga zaman abad itu. Bilamana pabrik itu mengalami kerugian selama beberapa tahun terakhir, kenapa pabriknya yang disalahkan, bukan pengelolanya? Sudah beresekah pengelolaannya? Ataukah para pengelolanya terlalu stagnan di zona nyaman sehingga tidak terbentuk kreatifitas untuk lebih meningkatkan potensi dan produktivitas pabrik es itu? Sayang sekali, pabrik es yang bertahan selama 123 tahun itu tidak dianggap berharga oleh para akademisi yang tergabung dalam tim independen benda cagar budaya dan dianggap barang layak dimusnahkan oleh Perusda yang harusnya memiliki sense of belonging terhadap pabrik itu. Meskipun pemerintah baik kota maupun provinsi memiliki pandangan yang berbeda tentang peruntukan bangunan (bekas) Pabrik Es Sari Petojo, saya masih berharap bangunan (berbentuk gudang) itu tetap berfungsi sebagai pabrik es dan dilestarikan sebagai pabrik es ikon kota Solo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline