Malam ini aku kembali tersedu-sedan sendirian. Entah apa pun yang telah dikatakan seseorang siang tadi, semua itu membuat hatiku luka. Tapi aku sudah bertekad, aku tak ingin menangis lagi. Cukup sudah menangisi hal-hal tak penting seperti ini. Maka kucoba melupakannya.
Kini malam datang dan aku sengaja duduk seorang diri di beranda rumah kecilku. Kutatap langit malam yang kelam, sayup-sayup suara orang mengaji di masjid masih terdengar. Aku semakin lirih dengan berbagai masalah yang kuhadapi saat ini. Siang tadi aku berkata pada seorang teman, "Orang yang ujian itu ya orang yang sekolah. Orang yang tidak sekolah, nggak akan dikasih ujian." Kini semuanya tergambar jelas, sebuah paradoks.
Kurenungi segala sesuatu yang telah dilakukan. Mengapa banyak orang berharta, kaya raya, sombong, elite, dan tak mau bersedekah, tapi hidupnya terus-menerus makmur dan hartanya semakin berlimpah? Lalu, mengapa pula banyak orang miskin, tidak berharta, tapi sedikit demi sedikit masih saja memiliki niat bersedekah, hidupnya tak pernah dihinggapi kecukupan? Mengapa mereka terus miskin?
Mengapa banyak orang berilmu di luar sana, mengaku tak punya ilmu hanya karena takut membagi ilmunya? Mengapa banyak orang tak berilmu mengaku-ngaku dirinya memiliki ilmu yang tinggi? Mengapa banyak orang miskin mengaku-ngaku kaya, berbohong dan pamer barang-barang tiruan hanya karena ingin dikatakan kaya? Mengapa pula banyak orang-orang kaya mengaku miskin hanya karena ingin mendapat jatah askes untuk berobat gratis atau jatah beras miskin?
Ternyata kutahu jawabannya malam ini. Inilah paradoks. Dan Tuhan memiliki jalan-Nya sendiri untuk menciptakan kebahagiaan ataupun kesengsaraan pada setiap mahluk-Nya. Lihat saja, si miskin yang rajin bersedekah, hidupnya memang miskin, tapi tak pernah dia merasa sedih. Karena si miskin makan seadanya, berkumpul dengan keluarganya, dan tidak memakan hak orang lain. Meski hidupnya miskin, tapi dia tenang. Lalu lihat si kaya. Hartanya berlimpah, mobilnya mewah, dan rumahnya tak terhitung jumlahnya, tapi setiap malam dia tak bisa tidur nyenyak, takut hartanya hilang dicuri orang. Si kaya yang sibuk terus menambah harta kekayaan, jarang bisa bertemu keluarga. Setiap hari jadi korban keadaan, di kantor, di perusahaan, di mana saja. Ternyata, apa yang menurut kita bahagia, belum tentu bahagia, dan apa yang menurut kita susah, belum tentu susah.
Malam ini aku menatap langit. Bintang tak tampak karena cuaca mendung dan angin membelai kulitku yang kurus dan ringkih, membuatku bersedekap karena kedinginan. Namun suatu pikiran terbesit dalam hati. Aku ingin menjadi seperti langit, pikirku dalam hati.
Langit mampu bersanding dengan matahari yang panas membara di atasnya, tapi tetap bisa ramah dengan bumi yang ada di bawahnya. Begitulah inginnya aku. Aku ingin dapat bergaul dengan orang-orang kaya, mengetuk pintu hati mereka dengan kemurahan hati. Aku ingin dapat bergaul dengan orang-orang berilmu, mengetuk pintu hati mereka dengan kebijaksanaan. Aku juga ingin bergaul dengan orang-orang lemah, orang miskin dan tak berdaya, agar aku dapat menaungi mereka, memberi mereka bantuan saat mereka membutuhkan, memberi mereka ilmu agar kehidupan mereka jauh lebih baik. Sungguh, aku ingin menjadi langit yang menjadi perantara bagi bumi dan matahari.
Kini aku akan tidur. Wahai langit, terima kasih telah memberikanku pelajaran berharga malam ini. Ingin aku lewati malam-malam selanjutnya, duduk berdua saja denganmu, berbicara tentang kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H