Lihat ke Halaman Asli

Darju Prasetya

Penulis freelance

Pram, Keluarga Toer dan Spirit Literasi

Diperbarui: 25 September 2017   22:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Cinta Buku. Dua kata itulah yang muncul dalam benak saya ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di rumah masa kecil pengarang besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer di rumah kelahirannya, Blora, Jawa Tengah. Rumah itu sekarang ditempati adik ke tujuh Pram, yaitu Soesilo Toer yang juga seorang penulis yang sekarang juga telah menjadikan salah satu ruang rumah itu menjadi rumah baca bagi semua anak bangsa yang mencintai dunia literasi.

Apa yang terpancar di rumah kuno yang berdinding kayu jati itu adalah rasa cinta terhadap dunia ilmu. Dunia buku-buku. Dunia baca dan tulis yang sekarang juga menjadi perpustakaan Pataba (Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Baangsa) yang didirikan tiga saudara Toer; Pramoedya Ananata Toer, Koesalah Toer dan Soesilo Toer. Bagi saya keluarga ini adalah luar biasa dalam mencintai dunia ilmu yang mampu menerangi kegelapan masyarakat sekitarnya.

Jika anda datang ke rumah bersejarah Pram ini, anda akan merasakan aura bahwa di rumah ini pernah lahir penulis hebat Indonesia yang belum ada tandingannya dalam sejarah kesusatraan di negeri ini. Hal ini tak terlepas dari didikan ayah Pram, yaitu Mastoer yang dulu merupakan aktivis pendidikan Boedi Oetomo dan seorang pendidik yang masyur pada jamannya di  Kota Blora.

Mastoer mendidik anak-anaknya dengan penuh disiplin dalam mencintai dunia baca, tulis, belajar dan ilmu pengetahuan. Didikan Mastoer ini telah melahirkan anak-anak yang  cemerlang seperti Pramoedya Ananata Toer yang karya-karyanya sangat berpengaruh dalam perjalanan kesusastraan di Indonesia dan mendunia. Keteguhan Pram dalam membela kebenaran, keadilan dan perlawanannya terhadap penguasa yang zalim dan pembelaannya terhadap orang-orang yang tertindas serta perlawananya terhadap feodalisme dan kolonialisme tergambar dengan jelas dalam karya-karya monumentalnya termasuk novelnya dalam tetralogi Pulau Buru yaitu: Jejak langkah, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca, dan Bumi Manusia.

Perlawanan Pram lewat dunia literasi telah membawanya ditakuti oleh pemerintah orde baru yang terkenal kopig, menindas, tertutup dan otoriter. Sehingga Pram pada masa itu sering menjadi target penguasa orde baru untuk dibungkam. Siapa yang benar dan siapa yang ditindas tentu akal sehat akan mengatakan bahwa Pram lah yang benar dan rasionalis. Hal ini terbukti dengan karya-karya Pram yang sangat realis dalam membela orang-orang yang dimarjinalkan dan ditindas. Pram sangat peduli dengan apa yang ia lihat, apa yang ia rasakan dan apa yang ia pikirkan di tengah kehidupan masyarakatnya.

Pram dengan kecintaannnya di dunia tulis telah membuat dirinya semakin produktif meskipun ia dalam situasi yang semakin diancam dan ditindas baik secara fisik maupun pikiran. Bahkan di rumah masa kecil Pram itu tercantum kata-kata yang pernah Pram ucapkan dan seolah menjadi monumen abadi, "Bacalah dan bukan Bakarlah!". Hal ini adalah kata-kata yang keras dari Pram karena tindakan vandalisme orde baru yang picik pikir dan penuh emosional karena kekawatiran orde baru terbuka "kedok"nya terhadap cara-cara kekuasaanya yang zalim sehingga buku-buku Pram yang sangat humanis itu patut menjadi sasaran kemarahan penguasa orba untuk membakar atau memusnahkannya. Padahal siapapun yang berakal sehat tak akan bisa memberangus sebuah ide dan pemikiran seseorang apalagi karya-karya itu menyuarakan kemanuasiaan seperti yang dikatakan oleh Pram sendiri. 

Orde Baru pasca 1965 telah melahirkan budaya kekerasan bahkan pemberangusan terhadap segala ide dan kebebasan kreatif anak bangsa sendiri dalam melahirkan karya intelektual yaitu buku-buku. Buku-buku yang  dianggap bisa membahayakan kekuasaannya maka dengan cakar-cakar kekuasaannya orde baru yang picik pikir itu tak segan untuk memusnahkannya. Namun idealisme bagaimanapun tak akan bisa dibungkam dengan senjata apapun. Idealisme dan pikiran seseorang akan terus menyala di tengah kebenaran suara nurani kemanusiaan.

Pram yang dikagumi dunia itu pun akhirnya seperti menjadi tumbal di negerinya sendiri karena di negeri sendiri rakyat seperti dicekoki secara paksa oleh penguasa agar tak membaca karya-karya Pram. Generasi muda yang idealis pada masa kekuasaan orba pun harus sembunyi-sembunyi ketika akan membaca karya Pram dan seolah-olah setelah membaca karya Pram orang bisa menjadi syetan. Seolah-olah karya Pram itu seperti hantu yang patut ditakuti. Bukankah ini sebaliknya? Tentu sekarang waktu yang telah membuktikan bahwa orang akan melihat siapa yang berakal sehat dan siapa yang bukan.

Pram lewat bukunya telah mengembalikan akal sehat generasi negeri ini dan ia terus berkarya meskipun ancaman jeruji penjara telah merenggut kebebasan fisiknya hampir seperempat masa hidupnya. Pram tak pernah patah semangat. Pram dengan ketajaman penanya terus produktif menulis meskipun di bawah ancaman senjata. Pram tetap mencintai dunia literasi dan tak ada satupun senjata yang bisa membungkam ide dan pemikiran seseorang dan Pram telah dengan gagah dan kesatria membutikannya. Bahkan dalam penjara yang paling purba dan penuh penindasan di Pulau Buru pun justru Pram sangat prroduktif. Atau ada seloroh dari Pram, "Seandainya saya dipenjara lebih lama lagi mungkin saya akan menghasilkan karya yang lebih produktif dan lebih fenomenal".

Kini Pram telah tiada, namun jejak kemanusiaannya masih bisa kita rasakan dan baca dalam buku-bukunya yang merupakan anak emas rohaninya yang bisa terus kita baca sampai beratus-ratus tahun ke depan. Pram adalah sebuah pelajaran bagi generasi muda untuk mencintai dunia literasi dan idealisme bagi pembangunan bangsa yang menghargai akal sehat dan hakekat kemanusiaan.

(Penulis, Pecinta buku, alumni UNS Solo)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline