“Most people are boring and stupid.”
―Oscar Wilde, The Picture of Dorian Gray
***
Pernah membaca atau menonton “The Soloist” karya Steve Lopez? Novel yang bercerita tentang persahabatan unik dua orang yang berbeda status sosial. Buku ini ditulis berdasarkan pengalaman nyata milik Steve Lopez seorang kolumnis senior di L. A. Times. Bercerita tentang kehidupan seorang pemain biola jalanan bernama Nathaniel Ayers. Diawali oleh cerita yang ditulis oleh Lopez di korannya, kehidupan milik Nathaniel secara perlahan merasuk ke dalam hidupnya. Hingga sampai pada akhirnya mereka menjadi dua orang yang bersahabat dengan cara tidak biasa.
Membaca gambaran umum dari cerita Lopez ini, saya teringat kata-kata milik Paulo Coelho, “When we strive to become better than we are, everything around us becomes better, too.” Pada mulanya apa yang dilakulan oleh Lopez hanyalah perjalanan basi-basi sebagai obat rasa bosan yang mulai menggerogotinya. Lalu tiba-tiba ia bertemu dengan seorang pengemis kumal yang sedang memainkan biola hanya dengan dua dawai. Tidak banyak yang dapat dipikirkan Lopez ketika ia tertarik mengungkap kehidupan pemain biola jalanan ini ke atas lembaran-lembaran bertinta. Sebagaimana halnya seorang kolumnis senior, terkadang menulis bukan lagi masalah passion namun score. Begitupun Lopez yang segera melihat potensi tulisan bagus dari kehidupan Nathaniel. Ia seperti bertemu pintu rejeki yang sebelumnya tidak masuk dalam daftar pencarian.
Seorang pengemis-gelandangan dekil yang kebetulan bisa memainkan biola rusak. Gambaran yang mampu ditangkap Lopez pada mulanya hanyalah cerita menarik dan menjual karena akan mendatangkan simpati. Dan bagian paling penting tentu saja sumber beritanya murah . Semacam hasil dari kalkulasi matematis dalam menghargai kehidupan milik seseorang, kira-kira begitulah. Namun, pada perjalanannya siapa sangka apa yang ditulis oleh Lopez mendatangkan konsekuensi yang jauh dari kata mudah. Kehidupan sehari-harinya menjadi terikat dengan dunia milik Nathaniel. Tulisan-tulisan yang dimuatnya di L. A. Times, mendapatkan reaksi positif dari para pembaca. Terutama ketika ada beberapa orang yang menyumbangkan biola dan cello baru untuk Nathaniel. Yang tentu saja akan dialamatkan kepada Lopez, dan itu membuatnya harus mengambil peran baru yaitu sebagai fasilitator.
Lebih jauh daripada apa yang dia bayangkan, ternyata rasa simpati yang dangkal berubah menjadi ketergantungan. Lopez tidak pernah bisa melepaskan bayangan Nathaniel dari pikirannya. Hingga beberapa kali ia sempat tidur di kawasan kumuh tempat Nathaniel tinggal. Ia terperangkap pada apa yang disebutnya sebagai empati atau bahkan simpati. Kehidupan Lopez tidak lagi sesimpel menulis dan memerhatikan istri dan putri kecilnya. Namun juga diisi oleh kegiatan menjaga seorang gelandangan tua bekas musisi Juilliard yang setengah gila. Hingga kemudian melalui perjalanan waktu, tidak hanya keadaan Nathaniel membaik namun juga mengantarkan Lopez ke bentuk kesadaran moral yang lebih tinggi.
Kesempatan yang didapat oleh Lopez ini juga datang hampir kepada semua orang di dalam hidup mereka. Momen dimana kita tiba-tiba ditarik masuk ke dalam hidup seorang manusia lainnya secara penuh. Bedanya mungkin Lopez tidak melepaskan apa yang ditawarkan kepadanya. Sedangkan sebahagian besar manusia lainnya bahkan tidak mengambil kesempatan itu setengahnya.
Pencapaian moral yang didapatkan dengan berani serta mau mengorbankan sebahagian esensi hidup yang kita miliki, itu memang tinggi harganya. Sehingga tidak semua orang yang pada awalnya melakukan hal yang sama lalu juga sama berhasilnya. Kecendrungan untuk melakukan hitung-hitungan jasa berikut himpitan perasaan bahwa “Ia sedang menolong loh” adalah apa yang tidak dipikiran Lopez. Pertanyaannya apakah mereka yang lain juga melakukan sesuatu yang sama?
Saya punya pengalaman hampir mirip dengan ini, dan sempat pula saya tuangkan dalam bentuk cerita pada tulisan satu setengah tahun yang lalu. Tulisan itu berjudul,“Temusku dan Takdir Undian Ibu Sarah” (silahkan dibaca). Tentang seorang ibu WNI dengan tiga orang anak yang ditelantarkan oleh suami Arabnya. Hingga kemudian terpaksa mencari kerja di ladang-ladang kurma dan anggur. KBRI dengan fasilitas shelter nya sudah memberikan jalan, namun Bu Sarah mengaku tidak betah. Sampai suatu ketika terdampar di tengah belantara Kairo dan membuat pusing pemilik sebuah kantor agen penyewaan rumah. Untung saja, si pemilik punya kenalan baik seorang mahasiswa Indonesia yang kebetulan adalah senior saya. Akhirnya ketika itsu Bu Sarah terpaksa tidur di kantor agensi ini dengan izin pemiliknya. Dan Senior saya itu menjanjikan akan mencarikan tempat di salah satu flat yang ada orang Indonesianya.
Posisi saya memang tidak sebanding dengan Lopez yang menjadi pelaku tunggal di dalam ceritanya. Namun, apa yang dirasakannya pada mula cerita dengan Nathaniel hampir sama dengan apa yang saya alami. Ketika cerita itu sudah ter publish dan dibaca banyak orang. Banyak email dan testimoni balasan yang berisi pertanyaan tentang bagaimana kelangsungan hidup Buk Sarah. Berikut dengan pertanyaan-pertanyaan apakah saya benar-benar mencarikan tempat beliau akan tinggal. Saya waktu itu, hanya melakukan komunikasi saja dengan senior baik hati itu. Dan dia menyampaikan beberapa hari setelah kejadian di kantor agensi itu bahwa Bu Sarah sudah mendapatkan tempat berteduh yang layak.
Meski hanya berkontribusi dalam bentuk tulisan dan informasi kasar, saya tetap merasakan tekanan dalam beberapa hari itu. Pertanyaan-pertanyaan yang saya terima perihal kelangsungan tokoh yang saya angkat menggeletik dan menghantam ruang moral yang saya miliki. Bahwa ternyata kejadian-kejadian selanjutnya tidaklah sesederhana yang saya pikirkan. Sama seperti Lopez, saya hanya ingin menulis kisah yang dirasa menarik saja. Tanpa mau banyak berpikir tentang konsekuensi informasi yang saya berikan. Mungkin poin yang sama-sama kami lewatkan adalah bahwa cerita kali itu tentang manusia, faktual dan terjangkau. Yang sama sekali berbeda dengan dongeng, alkisah, atau bahkan berita tentang seseorang yang telah meninggal atau telah beranjak level kehidupannya.
Saya dan Lopez mungkin sedang lupa atau bahkan tidak menyadari tentang fakta langka milik makhluk bernama manusia. Kami berdua mungkin juga telah dilengahkan oleh keadaan kekinian, dimana manusia baik tidak lagi mudah dicari. Bahwa kami dan orang-orang yang punya cerita sama tidak lagi menyadari penuh bahwa manusia memiliki sesuatu yang disebut perasaan. Perasaan yang kemudian diturunkan lagi dengan nama cinta kasih kepada sesama. Hal-hal yang sepertinya telah tertutupi oleh kelabunya cara manusia dalam menempuh kehidupan ini.
Ketidaksadaran-ketidaksaran ini pula yang membuat Lopez dan saya merasa nyaman saja menulis ketidak beruntungan hidup orang lain tanpa tambahan keinginan lain. Seakan-akan ketidakberuntungan seorang manusia berikut manusianya itu adalah paket beku. Bahwa ketidakberuntungan itu adalah objek sahaja. Dan sebagai manusia yang tidak berpaket beku, maka menuliskannya sebagai bentuk eksplorasi. Pengambilan keuntungan dari hal yang dirasa menarik. Ibarat menggambar burung patah sayap yang dirasa bisa mewakili seni dalam lukisan.
Ada semacam pemisahan antara ide dan realitas yang pada hal ini mestinya tidak demikian. Misalnya, kita melihat karya seorang pelukis realis tentang burung yang patah sayapnya. Apa yang cenderung kita lihat adalah kondisi artistik dari lukisan itu seperti yang digambarkan oleh pembuatnya. Cerita tentang seekor burung yang nelangsa karena sayapnya patah. Kita memisahkan ide nan “indah” itu dari kenyataan bahwa (benar-benar) ada seekor burung yang sedang patah sayapnya. Kita meletakkan dua hal yang seharusnya bisa difahami sama pada ruangan berbeda.
Mirip dengan apa yang saya dan mungkin Lopez lakukan terhadap tokoh pada cerita kami. Pada mulanya yang ingin diangkat adalah nilai-nilai estetika, tentang betapa menariknya cerita kami. Tentang betapa beruntungnya kami bertemu dengan momen-momen yang kemudian bisa digambarkan hingga manusia lain ikut simpatik. Tanpa mau menyadari lebih lanjut bahwa realitas dari yang terceritakan ini adalah tentang makhluk yang hidup juga. Lebih-lebih ini tentang makhluk yang memiliki perasaan juga. Perbedaan posisi mengantarkan manusia untuk tidak melihat manusia-manusia lainnya sebagai makhluk yang sama. Dalam kasus ini memang tidaklah besar, namun yang mesti disadari bahwa potensi-potensi untuk melihat manusia lain sebagai obyek belaka itu selalu ada.
Dalam masalah saya dan Lopez, kami diselamatkan oleh waktu dan kemudahan yang diberikan kesempatan. Lopez beruntung karena bertemu korban yang luar biasa jeniusnya. Dan saya beruntung karena kesempatan yang baik dan masalah yang tidak terlalu berat. Hingga kami berdua mendapatkan hasil akhir yang bisa dikatakan tidak buruk, bahkan dalam kasus Lopez-Nathaniel itu adalah sukses besar. Namun apakah semua kasus yang serupa punya akhir yang sama dengan ini? Syukur kalau ternyata sama, jikalau ternyata berbeda bahkan kebalikannya lantas bagaimana?
“The Soloist” hanyalah salah satu kisah tentang kebaikan seorang manusia kepada manusia lainnya. Tentang sebuah ketidak adilan sosial yang kemudian menjadikan manusia terpisah dari rasnya. Tentang kesendirian yang sebetulnya merupakan musuh dari peradaban bagi sebahagian orang. Kisah Lopez dan Nathaniel dan sedikit pada apa yang kutemukan dalam kisah Bu Sarah adalah efek dari kelupaan manusia. Ini sebetulnya tentang kebersedian manusia untuk membagi diri dengan manusia lainnya. Ini tentang kesendirian yang dibagi dua, mungkin demikian.
***
Ada ribuan bahkan jutaan cerita lainnya yang senada dan tidak terangkat. Seorang Lopez yang mau membantu Nathanielpun akhirnya terpaksa menuliskan cerita ini. Hingga kemudian bisa menjadi pengisi pundi-pundi produser yang memfilemkannya. Sedih memang, ketika sebuah kebaikan akhirnya dijadikan sebagai sarana mengeruk keuntungan. Seakan-akan ekploitasi terhadap keberuntungan sebahagian manusia tidak pernah habis-habisnya. Kita membantu namun justru keuntungan yang kita dapat jauh lebih banyak. Entah itu dalam bentuk materi ataupun hanya sebatas passion.
Namun, kita juga mesti mempertanyakan, jika seandainya kebaikan-kebaikan hidup yang ada ini tidak pula diberitakan, kira-kira bagaimana cara kita untuk mengatakan bahwa kebaikan itu belum benar-benar mati?
Yk, 16 Nopember 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H