Lihat ke Halaman Asli

Budiono, Daya Hidup dan Pentas Humanis

Diperbarui: 15 Februari 2016   14:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Budiono | Dok. Pribadi"][/caption]Namanya Budiono, senangnya dipanggil Mas Budi. Ini tentu bukan Wakil Presiden ke-6 itu. Dia tinggal di seputaran Bintaro, Jakarta Selatan. Setiap hari minggu pagi jika tidak ada kegiatan lain, Mas Budi hampir pasti ada di Taman Surapati. Dia menyebut dirinya sebagai seniman campursari tunggal. Pagi itu saya bersepeda ke seputaran Menteng ketika melihat Mas Budi meliuk-liuk dengan luwes menari diiringi oleh alunan lagu campursari dari sound system seadanya. Sambil menari, senyum selalu mengembang diwajahnya. 

"Apa kabar Mas?" tanya saya. "Baik Mas" jawabnya sambil tetap tersenyum. Sesekali keringat mengalir di pelipisnya. "Menarik tampilannya Mas" puji saya. "Ya, ini seadanya. Tapi yah diusahakan tetap maksimal." balasnya. "Kok harus maksimal?" kejar saya. "Yah maksudnya, kita ga boleh tampil sembarangan, Mas. Sebagai seniman, pentasnya harus maksimal. Kostum harus rapi, musik harus lengkap. Ini bentuk penghargaan kita kepada yang nonton. Tidak mesti mahal, tapi mesti maksimal. Itu maksudnya Mas." Sambil menunjukkan speakernya yang berupa modifikasi dari tong sampah hasil rakitan sendiri. 

***************************************************************

[caption caption="Mas Budi"]

[/caption]

Inilah hiburan rakyat yang tercecer di panggung terbuka masyarakat. Selain klub yoga dan klub biola yang tampil di taman ini, Mas Budi adalah salah satu pementas yang menghibur para pengunjung. Gerak tari yang luwes, senyum yang mengembang, dan peralatan sederhana adalah kombinasi kerakyatan yang terjangkau oleh seluruh lampisan masyarakat. Tidak perlu modal duit banyak untuk melakukan ini. Yang dominan malah sikap mental yang positif saja. 

Dari perspektif lain, setidaknya ada dua hal yang bisa dipetik dari perjumpaan dengan Mas Budi:

1. Daya Hidup

Meliuk-liuk, senyum yang mengembang, merakit sendiri peralatan dan tetap berusaha tampil maksimal adalah sebuah simbol perlawanan. Ditengah minimnya kesempatan untuk tampil di pentas yang layak, Mas Budi tidak kehilangan rasa hormat pada penontonnya. Dia berupaya tampil maksimal. Bagi saya, ini Daya Hidup. Menyerah mungkin bukanlah kata yang teridentifikasi oleh kamus hidupnya.

2. Pentas Humanis

Dia menari, meliuk-liuk. Senyum yang mengembang dan cengkerama juga disajikan. Pada jeda antar lagu, dialog pun dibuka dengan ringan dan luwesnya. Kekuatan pentas ini terpusat pada manusianya. Tidak pada gadget dan alat lain sebagai sentralnya. Tanpa sang empunya, alat-alat pendukungnya bukanlah apa-apa bagi para pengunjung yang berbekal smartphone ditangan mereka. Budiono dan interaksinyalah kekuatan pentas itu. Yah, ini pentas humanis. Tidak ada jarak antar Budi dan penontonnya, dan ini pentas tentang manusia sebagai sentralnya. 

                                            ******************************************************************

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline