Lihat ke Halaman Asli

Inilah Birokrasi Kita Pak Ahok!

Diperbarui: 15 November 2018   15:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: megapolitan.kompas.com / Admin

Sedang ramai diberitakan Wagub DKI marah besar kepada Kepala BPKD sampai menggebrak meja. Kemarahan tersebut berpangkal dari diterapkannya pajak reklame atas iklan yang hendak dipasang oleh penyumbang 30 unit bus. Kata-kata dari Kepala BPKD yang menyulut kemarahan Wagub adalah, "jika tidak dikenakan pajak reklame, maka negara akan mengalami kerugian". 

Sepertinya sudah cukup logis untuk diketahui bahwa nilai pajak tersebut akan secara signifikan lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai dari bus yang disumbangkan. 

Saking marahnya, menurut berita, Wagub DKI mengeluarkan kata-kata "BPKD bajingan", suatu kata yang cukup kasar, apalagi mengingat dilontarkannya ke instansi yang pada rapat tersebut diwakili seorang wanita bernama Endang Widjajanti, yang merupakan Kepala BPKD tersebut. Saya masih ingat, ibu Endang ini sebenarnya pilihan Gubernur DKI baru untuk menggantikan Sukri Bey di penghujung 2012.

Saya hanya ingin menyoroti bahwa inilah realitas birokrasi di Indonesia, dan mungkin juga di negara-negara lain. Apa yang terdengar logis, ternyata tidak bisa begitu saja diterapkan. 

Secara logis, tinggal kita hitung saja selisihnya antara nilai bus dan pajak, lalu bebaskan saja pajak reklame tersebut. Namun pada kenyataannya, bukan tidak mungkin Kepala BPKD bisa diseret ke meja bundar jika melakukan hal tersebut, karena tidak ada payung hukum untuk membebaskan pajak reklame tersebut walaupun yang dibebaskan adalah penyumbang bus.

Saya jadi teringat kata-kata Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas, saat menjadi salah satu dari 6 kepala daerah muda yang berbicara di forum Reformis Hibrida. Bupati yang sukses menurunkan tingkat kemiskinan di daerahnya dari 20% menjadi dibawah 10% ini mengatakan pemimpin harus bisa menggerakkan roda birokrasi.

Sayang karena kurang populer di media, hanya Ridwan Kamil dan Ahok saja yang mendapat pemberitaan padahal saya secara obyektif menilai pemimpin muda lainnya sangat layak diapresiasi bahkan telah terbukti hasil kerjanya (termasuk Gubernur NTB, Zainul Majdi yang hadir saat itu).

Kembali ke kasus di DKI yang sedang kita bahas. Perlu saya tegaskan terlebih dahulu, saya hanya mengamati sebatas pemberitaan di media. Sehingga saya hanya menduga saja berdasarkan pengalaman saya bekerja di birokrasi, bawa mungkin kendalanya adalah tiadanya payung hukum yang mengatur hal tersebut. 

Walaupun mungkin terdengar mengada-ada untuk sebuah sumbangan, seorang auditor pemerintah bisa saja bertanya "kalau dulu ada yang nyumbang bus tapi tidak minta pembebasan pajak reklame, kenapa kali ini diberikan?", atau "perlukah pembebasan pajak reklame dikonteskan, sehingga calon penyumbang bus harus bersaing terkait insentif pajak reklame yang mereka inginkan".

Disinilah muncul keprihatinan bahwa sejauh pemberitaan yang ada, seakan-akan belum ada keinginan dari jajaran elit DKI Jakarta untuk mengusulkan inovasi kebijakan yang akan sejalan dengan visi Gubernur dan Wagub DKI. 

Disisi lain, ekspresi frustrasi dari Wagub yang diwujudkan dengan membentak-bentak petinggi DKI Jakarta dimuka umum apakah akan efektif menggugah jajaran birokrasi untuk berinovasi? Jika saya berkhayal agak nakal, bisa saja mereka bergumam, "kita biarkan saja dia marah-marah. toh akhirnya dia sendiri yang tidak mengeluarkan payung hukum untuk kebijakannya. kita diam saja yang penting aman".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline