Poros Maritim Dunia menjadi doktrin politik luar negeri Capres terpilih Joko Widodo yang turut diprakarsai oleh cendekiawan ilmu strategis muda, Andi Widjajanto, dengan tujuan menjadikan Indonesia pemenang di era pergeseran center of gravity dunia dari Eropa Barat ke Samudera Pasifik. Bahkan untuk mengukuhkan hal ini, Capres terpilih memberikan pidato kemenangannya di atas kapal Phinisi.
Sebenarnya di era Presiden SBY, upaya untuk menguatkan ke-maritiman Indonesia telah dicoba dengan salah satunya asas cabotage, yang merupakan suatu upaya memberikan prioritas kepada industri perkapalan nasional dalam melayani arus perdagangan domestik.
Hal ini turut diperkuat dengan konsep Pendulum Nusantara, atau oleh Pak Joko Widodo disebut sebagai Tol Laut, dimana pelabuhan-pelabuhan besar akan memiliki shuttle service diantara mereka yang memungkinkan economies of scale dan menurunkan biaya transportasi.
Saya sendiri melihat Indonesia sebenarnya sangat unik, hampir tidak ada negara di dunia yang mendekati. Setiap pulau besar seperti Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Jawa dan Papua, memiliki ukuran yang setara dengan sebuah negara, sehingga perlu ada suatu strategi untuk masing-masing pulau tersebut.
Namun disisi lain, secara strategis dalam perspektif ketahanan nasional, perlu ada unsur perekat dari masing-masing pulau tersebut agar sinergis dalam satu kesatuan.
Oleh karena itu, pendekatan tol laut/pendulum nusantara ini harus menjadi perhatian utama pemerintahan mendatang, dimana dengan menggunakan Gravity Model, berkurangnya hambatan konektivitas antara pelabuhan-pelabuhan utama di masing-masing pulau besar akan meningkatkan bangkitan kegiatan ekonomi.
Presiden SBY mencanangkan Bitung dan Kuala Tanjung sebagai poros utama atau hub, dan ini logis karena Kuala Tanjung terletak strategis sekali di pintu masuk selat Malaka, sedangkan Bitung adalah salah satu titik paling strategis yang menghadap ke Samudera Pasifik. Namun hingga saat ini, pelabuhan-pelabuhan utama ini bahkan belum terhubung ke kota besar terdekat yaitu Medan dan Manado.
Tentunya kita harus memahami bahwa pendekatan yang digunakan adalah trade follow the ship, bukan ship follow the trade, sehingga keberpihakan pemerintah dari segi anggaran menjadi utama dan tidak bisa serta merta mengharapkan swasta dapat mengambil peran leader dalam inisiatif ini.
Tol yang menghubungkan Medan ke Kuala Tanjung, serta Manado ke Bitung, haruslah tersedia, dan harus ada upaya mendorong urbanisasi yang massive dan berdaya saing tinggi ke kota Medan dan Manado untuk mendorong daya saing pelabuhan Kuala Tanjung dan Bitung. Saat ini Medan masih mengandalkan Belawan, namun dari segi kapasitas kota, sudah memiliki potensi kekuatan dengan pendekatan metropolitan Mebidang (Medan-Binjai-Deli Serdang), namun untuk Manado, justeru masih kalah signifikan dibandingkan Makassar dengan pola metropolitan Maminasata (Makasar, Maros, Sungguminasa dan Takalar), selain juga memang secara tradisi berdagang sangat kental mengakar di masyarakat Bugis.
Lalu apakah pendekatan ini akan mengkanibalisasi MP3EI? Sejatinya tidak, karena MP3EI justeru mendorong perkembangan pelabuhan Kuala Tanjung dan Bitung, dimana mereka menjadi main gateway dari koridor ekonomi di Sumatera dan Sulawesi. Namun demikian, Bitung akan cukup terkendala karena kapasitas secara ekonomi masih jauh lebih rendah dibandingkan Sulawesi bagian selatan.
Ini yang masih perlu menjadi kajian, karena preferensi terhadap Bitung jangan sampai menghambat potensi ekonomi yang sudah sangat berkembang di Sulawesi bagian selatan. Ini menjadi pekerjaan rumah tim Presiden terpilih berikutnya untuk mencari suatu pola transisi yang sinergis dan konsisten dalam menjembatani potensi ekonomi di bagian selatan Sulawesi dengan pengembangan Bitung. Bitung mungkin dapat disinergikan dengan perekonomian di pesisir timur Kalimantan, Maluku, dan Papua.
Walaupun pendekatannya Maritim, jika konektivitas darat tidak tercapai, maka pelabuhan akan menjadi macan ompong. Kita berpotensi jadi poros maritim jika perekonomian kita sendiri kuat dalam memberikan baseline traffic untuk mencapai economies of scale dalam perkapalan nasional.
Oleh karena itu, strategi harus sinergis dan jangka panjang, dengan program terencana 10-20 tahun yang tidak boleh terombang-ambing preferensi politis jangka pendek. Kebijakan ini juga harus bisa diikuti konsisten oleh pemerintah daerah, dan mengakar bahkan di kalangan pengusaha.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H