Lihat ke Halaman Asli

Pemuda dan Literasi

Diperbarui: 22 Januari 2018   11:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Begini Cara Pemuda Bantaeng Hidupkan Literasi

Perkembangan banyak paham dan kecanggihan tekhnologi hari ini merupakan suatu hal yang tak dapat ditepis gejolaknya. Perkembangan itu terus merambat setiap waktunya memasuki seluruh wilayah bumi serta setiap jaringan dan sel-sel dalam otak kita. 

Sehingga siapapun yang berupaya melawan, maka ia akan teralienasi dan tidak akan menjadi bagian dari "kelompok yang banyak". Banyak negara bersaing untuk maju. Bersaing agar tak ketinggalan. 

Mereka belajar ilmu pengetahuan, belajar tekhnologi, dan terus melakukan produksi. Lalu yang menarik adalah, bahwa seorang tokoh literasi Indonesia menyebutkan bahwa 70 persen usia produktif (pemuda) di Indonesia tidak mampu hidup di abad ke-21, yang artinya tidak akan mampu bersaing. 

Ini bukanlah sekedar spekulasi yang mengada-ngada, melainkan hasil survey yang dilakukan pada tahun 90-an sampai 2000-an pada sekolah-sekolah di seluruh wilayah Indonesia, bahwa minat baca anak di Indonesia sangat mencengangkan. Rendah sekali.

Kebanyakan usia produktif yang kita miliki hanya akan menjadi buruh kasar baik dalam negeri maupun di luar negeri yang jelas tidak perlu memiliki ilmu yang memadai, alias sekedarnya saja sudah boleh untuk mendapatkan pekerjaan dengan upah yang alakadarnya. Kekhawatiran kita adalah jika fenomena ini terus tumbuh subur menjadi penyakit akud yang kemudian dampak buruknya harus diperoleh oleh bangsa ini. 

Hal ini bukan karena para pemuda yang menjadi harapan bangsa ini menolak perkembangan zaman yang tak terbendung, melainkan kelalaian mereka di dalamnya dan tertidur pulas. Menikmati menjadi konsumen dan objek yang dipermainkan oleh miskinnya kesadaran mereka sendiri.

Bukan perkembangan zamannya yang kita salahkan! Bukan pula manusia-manusia produktif dari berbagai belahan dunia yang terus bersaing karna ingin berkontribusi dan menjadi bagian dari perkembangan zaman itu! 

Sebenarnya, kita tidak akan terdiskriminasi dan teralienasi di era serba digital ini karena ketidakmampuan kita bersaing dengan manusia-manusia yang super pintar dari seluruh penjuru dunia. Melainkan karena kegagalan kita sendiri untuk bersaing dengan diri kita sendiri. Kita tidak mampu mengalahkan ego dan lemah melawan rasa malas yang terus suka kita adopsi. Dan itulah persoalan intinya.

Persoalan inti itu sangat jarang disadari oleh kita. Sikap apatis dan rasa malas yang tinggi menyebabkan aktivitas seperti membaca buku adalah kegiatan yang buang-buang waktu saja bagi sebagian besar anak muda. Namun tentu tidak jika semua waktu yang dimiliki dihabiskan untuk bermain game online seharian. 

Persoalan lain adalah, banyak juga kalangan anak muda kita yang aktif mengikuti setiap kegiatan-kegiatan outdoor bersama komunitas yang dibentuk. Lalu mengadakan event ini dan itu. 

Namun sayangnya, sering sekali sebagian besar dari mereka melakukan itu tanpa memahami esensi yang kemudian tidak akan memberikan efek bermanfaat baik bagi mereka sendiri maupun bagi orang lain (masyarakat). Kegiatan yang diikuti hanya akan menjadi ajang unjuk foto dan video yang cenderung selfish di media sosial yang kemudian menuai perhatian dari banyak orang yang hanya senang duduk, tiduran, main game dan nongkrong tidak jelas. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline