Aku memanggilnya dengan sebutan ibu, seorang wanita tidak terlalu tinggi yang memiliki pipi tembam, potongan rambut yang selalu pendek. Ibu berjalan dengan menggemaskan dengan kedua kaki pendek milik tubuh itu, dan yang membuatku selalu teringat adalah senyuman yang manis dan tulus.
Masa kecilku hidup di rumah sederhana, tembok kami tanpa polesan warna hanya berasal dari semen tanpa kehalusan. Berlantaikan bahan yang sama seperti tembok rumah kami, tanpa ubin berkilau. Rumah berdempet dengan saudara-saudara bapak, kami mempunyai 2 jendela. Jendela pertama menghadap ke depan rumah, dan yang lain menghadap halaman belakang rumah.
Halaman belakang terdapat sumur untuk menimba air sehari-hari, samping sumur tua terdapat sekat tembok dengan tinggi setengah badan orang dewasa. Sumur tua tempat kami mengambil air, cara menimba air mengerek ember turun sampai dasar sumber air. Jika terasa air sudah penuh tarik ember sampai tepi atas sumur, ibu membeli ember tersebut di pedagang asongan keliling.
Saat hujan turun genteng rumah sering bocor, suasana riuh menghiasi rumah petak milik kami. Suara tersebut berasal dari langkah cepat kaki kami berlarian mengambil wadah untuk menampung bocor tersebut. Solusi mengatasi rembes yang berasal dari genteng sebab air hujan, kami menaruh ember di bawah tetesan bocor itu.
Saat hujan turun ibu memasak kudapan untuk kami, ibu lebih sering masak makanan kesukaanku. Lebih sering tempe goreng maupun pisang goreng saat hujan. Meskipun anggapan orang momen tersebut biasa namun, bagi kita hal tersebut langka sekaligus menyenangkan.
Ibu dan bapak lebih sering menghabiskan waktu untuk bekerja hingga petang. Uang yang mereka punya pas untuk kami berenam, terkadang aku melihat ibu lebih memilih menahan lapar untuk melihat perut kami terisi penuh makanan. Setiap memiliki makanan, kami membagi untuk berenam. Meskipun mendapat bagian yang tak seberapa tidak apa agar semua dapat mencicipi.
Ekonomi kami saat itu sederhana cenderung menengah ke bawah. Tetapi aku merasa bahagia, terkadang pertanyaan muncul pada benakku saat orang menjual cerita kesedihan demi menarik simpati dan perasaan iba orang lain.
Aku merasa saat kecil ibu sangat menyayangi diriku. Ibu teramat baik dan sabar, bahkan bukan kepada diriku saja, sifat baik hati tersebut untuk semua orang. Rasa sayang itu dia tunjukan dengan perhatian, mengingat hal-hal yang aku suka, dan selalu menjadi orang pertama yang mengingat hari ulang tahun anaknya ini, bahkan diriku sendiri pun sering lupa. Ibu tahu aku tidak suka makan tempe gembus (salah satu jenis tempe berasal dari ampas tahu), kesukaanku tempe kedelai biasa.
Ibu juga paham betul bahwa saat masih kecil aku hanya bisa tidur dengan tangan masuk ke lubang yang ada di bantal atau guling, memang sedikit tidak lazim tetapi itu ritual yang aku lakukan setiap akan tidur.
Suatu hari kekesalan ibu memuncak karena kapuk isi bantalku berserakan keluar, karena kejadian tersebut ibu berinisiatif membuatkan kantong khusus jari yang pas tanganku agar aku bisa tidur nyenyak dan tidak membuat isi bantalku berserakan.
Ibu sering mengajakku berbelanja ke pasar, terkadang ibu juga membelikanku daster baru sepulang dari pasar. Kesukaanku yang lain adalah pergi ke Pasar Malam untuk membeli gulali, mandi bola, naik sangkar burung, komidi putar, dan melihat Tong Setan.