Lihat ke Halaman Asli

Enaknya Ayam Bakar (Bakakak) Subang

Diperbarui: 4 Februari 2016   22:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebenarnya saya tak sengaja makan di Tanjungsiang Subang. Saya diajak Kang Herman Suryatman Kepala Biro Biro Hukum, Komunikasi dan Informasi Publik di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Sebelumnya dia adalah Camat Jatinunggal Kabupaten Sumedang.

Sudah hampir 3 tahun saya tak berjumpa dengan dia. Dulu waktu jadi wartawan Sumedang Ekspres saya sering bertemu. Ya hubungan antara narasumber dan wartawan. Tapi pada pertemuan Sabtu (23/1/2015) merupakan ajang melepas rindu. Kami banyak diskusi tentang banyak hal termasuk kondisi Sumedang terkini yang menurutnya makin memprihatinkan.

Ohya saya tak ingin membahas isi pembicaraan itu. Justru saya ingin berbagi pengalaman saat mencicipi bakakak (ayam bakar) yang rasanya maknyos. Adalah Bu Yanti isteri Kang Herman yang punya ide makan di Tanjungsiang. Kebetulan Bu Yanti sedang Nyiram (ngidam), dia inginbalakecrakan di daerah Tanjungsiang. Maka kami pun meluncur dari Sumedang ke Tanjungsiang. Jalannya lumayan berkelok. Sehingga bagi yang tak biasa bakal muntah pusing.

“Mau cari rumah makan yang dekat atau jauh nih, kalau yang jauh rasa ayam gorengnya mantap dech,” kata Bu Yanti sembari menancap gas. Ohya Bu Yanti yang nyetir saat itu. Kami pun tak peduli jarak, justru ingin coba ayam bakar yang mantap biarpun lokasinya jauh.

Kurang lebih 45 menit kami pun sampai di Rumah Makan Nusa Sari.  Bangunanya memang sederhana. Tak seperti Rumah Makan Ampera atau RM Mergosari. Dindinynya dari bilik bambu dengan view sawah yang terhampar hijau. Peralatan bakarnya pun tak memakai kipas angin. Begitu juga tempat duduknya, lesehan.

 

Meski demikian pengunjungnya berjubel. Apalagi saat akhir pekan. Waktu itu kebetulan hanya ada tiga pengunjung. Rupanya Bu Yanti sudah langganan di rumah makan tersebut. Sebab, begitu sampai sudah siap segalanya. Tak harus nunggu berlama-lama. Sejurus kemudian bu Yanti mengeluarkan petai dari kantong keresek. Rupanya dia membawa 10   petai. Wah mantap banget neh, ayam bakar dengan petai.

Dan hidanganpun telah siap. Mantap surantap bleh…! 10 potong ayam bakar pun telah terhidang. Awalnya saya dan mantan wartawan Metro TV Daud Abdulah SH MH (bukan gelar sebenarnya) agak jaim. Padahal sudah lapar, perut keroncongan. “Ayo silakan enak dech,” kata Bu Yanti sambil menyodorkan piring. Santapan pertama terasa biasa saja. Ayamnya agak liat. Begitu dicocolkan dengan sambel. Wuih Maknyos. “Beta su picah. sadaaaaap ,” kata orang Ambon. Ohya aku memang dibesarkan di Ambon.

Saya melirik ke temanku, Daud rupanya makannya sangat lahap. Tapi tak suka petai. Katanya makruh. Maklum dia adalah anggota JIL (Jenggot Indah dan Lebay). Katanya pantangan makan petai karena superbau. Dan ksempatan itu tak disia-siakan kusikat. Petai yang sudah dibakar tersebut. Dan dicocolkan (apa ya bahasa Indonesianya) ke sambal yang mantap punya. rasanya ngak terlalu pedas tapi bikin ketagihan. Lidahku kini sudah mulai beradaptasi. Sudah tiga potong ayam habis. Tulangnya pun habis. Akhirnya 10 potong ayam tersebut ludes. Melihat situasi demikian, Bu Yanti memanggil Teteh Waruh. Tambah…..! ujarnya. Tak kurang dari 10 menit ayam bakar tambahan sebanyak 10 potong pun terhidang. kami menyantapnya lagi, meski perut sudah berat. Kalau bahasa Sundana mah kamerekaan.

Jarum jam menunjukkan pukul 13.30 kami pun harus pulang, karena ada acara lain. Berkunjung ke lokasi OTD Jatigede. Nuhun Kang Herman sama Bu Yanti perut kami puas hahheee…

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline