Lihat ke Halaman Asli

Kejahatan Bawah Sadar (Schadenfreude)

Diperbarui: 24 Februari 2016   11:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 [caption caption="Senang ketika orang lain susah."][/caption]

Per definisinya, Schadenfreude adalah : perasaan puas / gembira bila melihat orang lain dalam kesusahan, kondisi yg tidak menguntungkan, atau berada dalam posisi lebih rendah darinya. Kata lain yang hampir mirip adalah Gloating, yaitu : bernyaman dalam kesuksesan dirinya di atas ketidakberuntungan orang lain dengan 'kebahagiaan'. Merasakan diri sebagai 'baik' atau 'pahlawan' sementara kenyataannya banyak orang semakin kesusahan karena 'pertolongan'nya.

Mungkin anda baru pertama kali ini mendengar istilah ini. Tapi hal inilah yang membuat orang baik melakukan kekerasan / kejahatan tanpa disadarinya. Sistim cultural, pendidikan dan pandangan kehidupan yang dangkal (tidak realistis) menyebabkan orang berlomba-lomba menjadi baik secara superficial (kulit permukaan), dan untuk menuju perasaan harga diri (self-esteem) nya tersebut, ia merepresi agresifitasnya yang kemudian muncul secara subliminal dalam tindakan-tindakan “politically correct” atau "religiously correct" yang menikam dan merusak pihak lain.

Ini hanya mungkin terjadi apabila manusia mengalami pendangakalan jiwa sehingga antara apa yang ada dalam kesadarannya (consciousnessnya) berbeda berbeda, terpecah bahkan bertolak-belakang dengan apa yang ada pada bawah sadarnya (sub-consciousness). Peran agama-agama politis dalam proses pendangkalan ini tidak dapat dipungkiri. Hal inilah yang menyebabkan kekerasan demi kekerasan selama ribuan terakhir ini. Dimana manusia berusaha memperbaiki system kehidupannya melalui budaya, system politis dan sains/teknologi, tetapi selalu hanya sedalam apa yang tampak / kasat mata belaka. Apa yang tidak tampak (tersembunyi di dalam) tetap busuk , agresif dan jahat.

Usaha-usaha menutupi kebusukan, keagresifan dan kejahatan itu dengan bungkusan yang baik dan indah, itulah per definisi adalah motif dari penciptaan Simulacra. Dimana tujuan akhirnya adalah penguasaan penuh dan eksploitasi bagi manusia satu di atas yang lainnya melalui system yang “dipermuliakan” sedemikian rupa untuk dipuja-puja, sehingga yang melanggarnya dianggap secara social maupun politis layak untuk dihakimi dan dihukum. Segala sesuatu yang real di’bunuh’ untuk digantikan dengan jargon-jargon indah atas nama moral/akhlak, ketertiban, keadilan, efisiensi, efektifitas, disiplin, hukum bahkan atas nama Tuhan! Inilah yang menjadi penyebab kanker kehidupan dunia yang mencapai masa kritis pada abad ke-21 ini. Manusia tidak bisa menghindar lagi, atau punah melalui suatu cara yang sangat mengerikan.

Bila kitab-kitab kuno agama menuliskan deskripsi akhir jaman, inilah persoalannya. Hanya saja mereka menyebut kejahatan itu dengan istilah ‘iblis’ atau ‘syaiton’ padahal sebenarnya adalah bawah-sadar manusia yang egois dan semakin membusuk dalam segala kepalsuannya. Tidak heran bila lingkup efeknya meluas dan mendalam ke segala aspek kehidupan. Lihat saja dari persoalan ketimpangan system moneter hingga persoalan LGBT yg meruak akhir-akhir ini. Semua persoalan dan ‘penyakit sosial’ itu bukan muncul tiba-tiba dari langit, tetapi merupakan akibat dari proses pembusukan kesadaran manusia selama ribuan tahun : diluar terlihat baik, tapi jahat di dalamnya;
dari luar tampak mengulurkan pertolongan, tapi menghisap diam-diam;
tangan kanan membelai-belai, tapi tangan kiri menikam dari belakang;
Lidah ular bercabang dua; madu tapi racun.

Inilah yang selama berabad-abad dicoba untuk diutarakan kepada public oleh tokoh-tokoh seperti J.Krishnamurti, Ki Ageng Surya Mataram, dsb. Mereka pada dasarnya menggugat kemajuan peradaban yg dialami manusia : bahwa dibalik apa yang disebut perbaikan / kemajuan sebetulnya secara psikologis kejiwaan manusia tetap biadab, agresif, manipulative, eksploitative, dsb. Tidak lain adalah dikarenakan Schadenfreude / Gloating seperti disinggung diatas : manusia berlomba-lomba berbuat ‘kebaikan’ dengan cara menindas yang lainnya; berebut berbuat ‘pahala’ dengan cara saling menjatuhkan. Karena melalui 'kebaikan' ia mendapat keuntungan status dalam persaingan sosial; tapi bagaimana kalau sistem sosial itu adalah sistem sosial yang korup (manipulatif)?

Oleh karena itu sudah sangat jelas, mengapa agama-agama politis itu begitu menentang kedalaman spiritual, penyelidikan batin dan hal-hal yang berbau meditative. Karena melalui penyibakan hal-hal yang disembunyikan di dalam batin manusia itu akan dapat ditemukan berbagai macam kebusukan yang merupakan akar dari semua ‘kebajikan’ yang menindas umat manusia selama ribuan tahun.

Mengapa bisa demikian?
Tidak lain tidak bukan karena manusia dididik hanya melalui dogma-dogma dan serangkaian permainan antara iming-iming (harapan) dan ancaman (penakut-nakutan). Dalam agama-agama tertentu, neurosis (kecemasan) manusia terhadap kehidupan dan kematian tidaklah diselesaikan, tetapi justru dipakai untuk memperalat dan mengikat umatnya sendiri. Tentu saja neurosis itu tidak ditampakan di permukaan karena tidak menguntungkan secara marketing, tetapi neurosis yang terepresi ke dalam bawah sadar itu menjadi sebuah daya besar yang sungguh jahat merembes keluar melalui ‘kebaikan-kebaikan’ dan segala macam alasan yang politically-correct atau religiously correct.

Kalau diatas sudah saya katakan bahwa Schadenfreude / Gloating ini adalah merasakan diri sebagai 'baik' atau 'pahlawan' sementara kenyataannya banyak orang semakin kesusahan, sebenarnya inilah esensi dari apa yang disebut NWO (New World Order), yaitu : melalui lengan2 gurita kekuasaannya kaum elite penguasa dunia hendak "mengatur" dunia untuk menuju "ketertiban" versi dirinya dengan menggunakan segala macam perangkat sistem, keorganisasian maupun teknologi sehingga 'mengatur' dan 'mengawasi' setiap langkah gerak-gerik manusia dalam sistem komputerisasi-biometric. Ini namanya adalah pembunuhan hak asasi dan kebebasan manusia.
Perhatikan bahwa Tuhan memberikan ruang gerak yang lapang kepada manusia untuk berproses dan memahami hidup melalui kesalahan-kesalahannya; tetapi rupanya manusia ingin 'playing GOD' dimana tidak memberi ruang kepada sesamanya untuk mengeksplorasi kehidupan menurut panggilan hidupnya sendiri.
Bukankah ini yang disebut anti-christ?? Karena yang disebut Kristus adalah membebaskan manusia; tapi disini mereka hendak mengikat tangan dan kaki manusia melalui sistem/hukum. Sekalipun dengan technological-tyranny mungkin hasilnya adalah ketertiban secara fisik yg tampak dikulit permukaan, tetapi apakah cara ini akan mendewasakan dan memerdekakan jiwa manusia?

Oleh karena itu saudara……kalau ada yang mengatakan bahwa ini adalah akhir jaman, saya percaya bahwa memang ini adalah akhir dari sebuah jaman. Mudah-mudahan tidak sampai kebablasan bumi ini hancur lebur karena ulah manusia sendiri, tetapi berakhirnya kekerasan di dalam bawah sadarnya. Inilah yang –semenjak dulu – saya artikan sebagai kedatangan Messiah. Yang mana bukanlah sesuatu yang secara karikatural digambarkan sebagai tokoh hero yang turun dari langit, melainkan turunnya Kesadaran (Awareness) untuk mentransformasi bawah-sadar-yang-jahat itu menjadi baik sejati. Tentu untuk menuju kesana, tidak bisa tidak manusia harus mulai menyelidiki batinnya. Dan itu artinya adalah melalui pengembangan suatu sikap kontemplatif / meditative.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline