Lihat ke Halaman Asli

Sinkronisasi Otak dan Akhir dari Pikiran

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Problem dari semua agama-agama dan juga ideologi-ideologi adalah kemelekatan (attachment) ke konsep-konsepnya sendiri. Sekalipun semuanya membicarakan kepada pembebasan, tetapi konsep-konsep itu telah mengurung diri mereka sendiri dengan suatu ilusi pembebasan.

Jadi, kalau sebagai seorang spiritualis melekat pada segala sesuatu yang dibicarakan disini, itu juga adalah sebuah penghalang. Semua yang dikemukakan hanyalah pointer / penunjuk yang harusnya diselidiki secara langsung. Setelah menjadi pengalaman real, maka konsep-konsep itu tidak berguna lagi. Seperti anda berdiskusi tentang es jeruk untuk mencari es jeruk. Begitu es jeruk itu anda minum, anda merasakan kelegaan dan kepuasan. Tidak berguna lagi membahas es jeruk, kecuali utk memberitahu bagi yang belum pernah mencicipi es jeruk.

Bayangkanlah bahwa setiap pemahaman konsep itu adalah bagaikan menumbuhkan sebuah percabangan saraf di otak anda.

Saat ini, otak kita --yang mana adalah kumpulan saraf / neuron-neuron mikro-- sedemikian disorder bekerja simpang siur. Oleh karena itu, diberikanlah konsep-pembantu untuk menumbuhkan cabang-cabang saraf tertentu yang bisa membantu menumbuhkan hubungan-hubungan penting yang dipergunakan otak utk lebih mensinkronisasikan dirinya.

Cabang-cabang saraf itu ditumbuhkan dengan berbagai macam cara konseptual. Tidak masalah apakah konsep yang diberikan itu tentang Mahadewa tunggal tak berwujud, manusia-dewa yang serba super, metafisika energi-energi, mitologi wayang atau dalam bentuk mitologi-modern seperti film Matrix Trilogy. Tapi dari cabang-cabang saraf baru itu, anda mulai berproses menemukan suatu lapisan pengertian / dimensi lain dari kehidupan sehari-hari. Sampai suatu saat saraf-saraf itu bersinkroni dalam keseluruhannya dan kemudian berhenti. Disitulah anda akan melihat kemustahilan semua konsep-konsep yang telah anda tumpuk itu. Disitulah akhir dari segala sesuatu. Dan berakhir pulalah si Diri. Karena ternyata si Diri hanyalah suatu image yang terbentuk dari tumpukan konsep2 yang terbentuk dari jaringan saraf yang tak tersinkronisasi.
Pada saat berhenti itu, ternyata ada suatu tataran lain dari hidup. Yang sama sekali bukan 'aku', tapi adalah totalitas yang terlepas dari semua pola-pola yang dapat dimengerti.

Yang menjadi masalah adalah apabila konsep-pembantu itu dianggap sebagai suatu akhir. Dianggap sebagai pembebasan itu sendiri. Maka saraf-saraf yang berkembang selanjutnya menjadi terpusat pada saraf-konsep itu. Sehingga yang terjadi bukan lagi keseimbangan yang agung tetapi sudah miring / bias / berat sebelah pada titik itu.

Maka selanjutnya kehidupan anda akan diwarnai dengan diri/ego yang selalu di-tag dengan titik pusat semu itu. Yang akan menghasilkan ilusi-ilusi yang semakin lama semakin menguatkan dirinya.
Disitulah mengapa kemudian spiritual dikenal sebagai sebuah proses un-learning. Yaitu mengurai ketidakseimbangan itu. Memudarkan looping yang selalu mengacu pada saraf-konsep yang mandeg itu. Untuk kemudian memberikan kesempatan otak untuk berproses secara menyeluruh, dalam totalitasnya mengatasi fragmentasi-fragmentasinya sehingga tercipta suatu sinkronisasi agung pemahaman tentang dirinya sendiri -- yang pada hakikatnya adalah ilusi. Berhentinya ilusi itu adalah suatu tataran hidup baru yang lain sama sekali. Sesuatu yang tak terbatas dan bertepi. Suatu dimensi kehidupan baru yang indah tak terlukiskan kata-kata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline