Lihat ke Halaman Asli

Proses Penciptaan

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gelar-gulung : Penyingkapan dari dalam keluar dan penggulungan dari luar ke dalam.

[caption id="" align="alignnone" width="500" caption="Gelar-gulung : Penyingkapan dari dalam keluar dan penggulungan dari luar ke dalam."][/caption]

Oleh : Daniel Suchamda

Dalam Hadits Qudsi ada kalimat yg berbunyi "Aku (Allah) adalah harta tersembunyi, dan berkehendak agar diketahui, maka Aku ciptakan mahluk2 ciptaan agar dapat mengetahui (menjadi saksi)".

Tahukah anda apa implikasi mistikal dari ayat ini?

Menurut seorang tokoh sufi jaman dahulu yaitu Muhammad Nafi Ibn Idris Ibn Hussayn al-Banjari, ini adalah "pernyataan" Allah dalam posisi Ahadiyyat (absolute state of unconditional transcendence). Posisi Allah sebelum tannazulatnya (emanasi) muncul dalam multiplikasi.

Kondisi ini dapat disejajarkan dengan kondisi kesunyataan atau Emptiness (asankhatadhamma / unconditional Dharma). Karena esensi ini meliputi segala sesuatu dalam ketunggalan universal dan tidak dapat diketahui (hidden) dalam artian pikiran tidak dapat menjangkaunya atau bila hendak diungkapkan maka harus serba tidak (neti-neti / negasi) yg mana adalah merupakan suatu kehampaan maknawi (dlm relasi hubungan makna keber-tajali-annya). Karena disini belum muncul multiplikasi bahkan ruang dan waktu.

Disini partikularitas diri lenyap sama sekali, bahkan partikularitas roh sudah jauh2 lenyap dalam martabat2 lain dibawahnya (alam wahidiyah). Ini dapat disejajarkan dengan konsep Nibbana, dimana partikularitas diri lenyap (termasuk konotasi ruh, jiwa, dsb). Dan oleh buddhism aliran tantra ini disebut Adi Buddha atau Buddha Samantabhadra. Jadi, disini kata "Buddha" bukan lagi merujuk kepada julukan kepada personal dalam ruang historis, tetapi adalah esensi transenden awal pertama. Tentu kata "awal pertama" ini jangan diartikan sebagai sebuah proses kronologia ala "time-line" ("pada posisi garis-waktu di jaman dahulu"), tetapi adalah proses fenomenologis penyingkapan "dari dalam ke luar" dari proses penciptaan dan perubahan terus menerus setiap saat (oleh karena itu disebut impermanency / ketidak-kekalan / anicca pada tahap2 martabat ke-4 dan selanjutnya).

Dalam kondisi Ahadiyat ini maka Allah dapat dikatakan sebagai sebuah sumber awal pertama yang hidup dan maha pengasih penyayang (al rahman al rahim). Karena cinta-kasihNya maka dari situlah awal muasal awal yang pertama dimana DzatNya (= Divine Essence) bertajali secara primordial dalam Self-aware (melihat diriNya sendiri) dalam keseluruhan sifat-sifatNya yang masih merupakan suatu ketunggalan agung sebagai seolah-olah sebuah pribadi. Disinilah cinta-kasihnya itu mulai memancar. Sebagai obyek cintakasihNya maka beremanasilah suatu wadah penampung cinta kasihnya yang mana dari situlah maka proses penciptaan bermula (maka disebut martabat Wahdahdiyyah). Sebelum proses pemancaran cahaya cintakasih tersebut terjadi maka diperlukan sebuah wadah yg 'gelap' (maaf, tidak ada kata lain yg mampu mewakili yg saya maksud. 'Gelap' hanyalah pendekatan perumpamaan agar dapat dipahami oleh intelek). Antara yg 'terang' dan 'gelap' itu sendiri bukan merupakan sebuah pemisahan yang azasi, tetapi sekedar merupakan sebuah bagian dari ketunggalan proses. 'Kegelapan' itu memisahkan diri sebagai sarana untuk menampung Cinta-kasihNya agar dapat memancar. Disinilah maka Light (cahaya) itu memancar menjadi Rays (sinar). Disinilah tajjali Allah pertama kali dapat dikenali yaitu sebagai yg diistilahkan sebagai Nur Muhammad (Gnostic Rays). Jadi, proses 'menjauh' atau pada multiplikasi (diferensiasi) dari tajali penciptaan itulah yg disebut mengarah pada 'dosa', sedangkan proses sebaliknya -- yaitu 'mendekat' pada sumber asali tersebut yg disebut menuju 'suci'. Meskipun demikian, tajjaliNya yang pertama ini belum dapat disebut sebagai sesuatu yang particular tapi masih bersifatkan sesuatu yang universal-transcendence. Baru pada tahap yang berikutnya yaitu Wahidiyyah, maka yang transcendent itu menjadi particular-transcendence.

Note :
Taunya si manifestasi pancaranNya ini diungkapkan hanyalah secara simbolis. Bagaikan pantulan yang muncul di cermin, tapi bukan yang sesungguhnya. Untuk benar-benar paham yang sesungguhnya, maka berhentikanlah pikiranmu, dan alamilah sesuatu yg melampaui pikiran si pembentuk ilusi si 'aku' ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline