Lihat ke Halaman Asli

Jalan Keluar dari Kegelapan Dunia

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap manusia mempunyai kecenderungan untuk memperoleh kepastian dan tempat bersembunyi yang nyaman demi memberikan hiburan atas kelemahan dan ketidaktahuannya. Tempat yang nyaman itu adalah belief system. Belief system tidak terbatas pada "agama" seperti yang kita kenal saja, tetapi juga isme-isme lainnya, juga kecenderungan pikiran manusia untuk membuat kepastian-kapastian. Sementara seluruh manusia lahir ke dunia tidak tahu apa-apa. Gelap total. Daniel Suchamda : Dasar penyebab awalnya adalah ketakutan. Ketakutanlah yang mendorong manusia untuk mencari kepastian terhadap apa yang terjadi di dunia ini. Itulah mengapa manusia tidak saja berpegangan kepada belief-system tetapi juga kepada rasionalitas. Kedua kutub itu sama saja. Semuanya didasari oleh insting mempertahankan diri, melanggengkan diri, yg ujungnya segala sesuatu adalah demi si aku. Kesetiaan kelompok pun ujungnya adalah survival dari si aku. Coba saja bila kelompoknya sudah tidak dapat menjadi andalan bagi si aku. Tentu si aku akan meninggalkannya. Itulah yang terjadi. Dan semua itu adalah semu. Karena apapun yg dapat ditemukan dengan suatu rumusan--entah itu rumusan rasional ataupun rumusan kepercayaan-- adalah tidak dapat sepenuhnya diandalkan. Karena dari setiap pengandalannya, --bila manusia mau jujur-- selalu memiliki derajat ketidakpastian tertentu. Dan sayangnya, ketidakpastian itu hendak diingkari dengan kelanjutan dari sistem itu, yang semakin lama semakin berkembang kompleks menciptakan kaitan-penguncinya masing2 sehingga merupakan sebuah blok yang saling membenarkan bagian-bagiannya. Seolah-olah semua itu menjadi sebuah dunia yg real. Masing-masing sistem membentuk keberduniaannya sendiri-sendiri. Dan pada hakikatnya, antara sistem2 yg berbeda itu sangat sulit sekali terjadinya suatu arus pemahaman yg menyeluruh terhadap yg lainnya. Yg dilihat oleh sebuah entity hanyalah gambaran sistem lain menurut paradigma dunianya sendiri. Yang tentu adalah BIAS. Ini pada lanjutnya menghasilkan konflik-konflik yang hampir tidak mungkin diselesaikan-- baik secara rasional maupun secara intuitif. Apabila penghubungan antara dua dunia itu menggunakan sebuah sistem tertentu, maka sistem itu akan meng-ekuasi dirinya dengan sistem-sistem lama dari masing2, sehingga memunculkan suatu bentuk metamorfosis yg semakin kompleks. Masing2 menimbulkan prasangka dan praduganya masing2. Oleh karena itu, tiada jalan lain bagi manusia di milenia 21 ini, untuk belajar keluar dari kurungan paradigma dunianya. Oleh karena itu, tiada jalan lain yaitu untuk masuk ke jantung paradigmanya, mengamatinya dan memahaminya. Untuk melihat bhw semua itu adalah delusi dari ketakutan2 dasariahnya. Sedikit orang yg berani berpetualang untuk masuk ke dalam rimba ketakutannya. Tapi bagi mereka yg berani, pahalanya adalah sebuah kebebasan. Kebebasan dari kungkungan dunianya sendiri, maupun kebebasan untuk memasuki dunia-dunia yg lain. Semua ini artinya adalah adanya harapan. Dan inilah harapan satu-satunya. Yang tanpa menembusi kunci pengertiannya, realita ini adalah gelap total. Itulah satu-satunya cahaya bagi manusia untuk menerangi jalan evolusinya ke tahap kesadaran yg terbebas dari kondisi-kondisi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline