Apakah ada ukuran dari Baik dan Buruk?
Beberapa orang yang menjalani spiritual tingkat tinggi sepertinya akan menjawab "baik dan buruk itu tidak real, tidak ada realitas yg mendasari baik dan buruk". Memang benar, tetapi ingat bahwa kita masih hidup di dunia relatif ini, oleh karena itu pernyataan tersebut sungguh tidak bertanggung-jawab bila dikemukakan dalam konteks sosial. Bukan tidak boleh, melainkan sebaiknya hanya dalam training khusus kepada pemuka-pemuka spiritual yang telah sampai tahap tertentu mampu mengikis egonya.
Untuk memahami apa itu baik dan buruk kita perlu meneliti aspeknya dari sudut si subyek dan obyeknya, dalam hubungan yang bagaimana dan menurut ukuran apa. Kali ini saya mengajak pembaca untuk menelitinya dari sudut individual berbanding dengan kolektif, dan mengajak untuk melihat dinamika yang terjadi di antara taraf individual dan kolektif tersebut.
Coba bayangkanlah apabila di seluruh dunia ini semua orang mati dan hanya seorang diri yang hidup, apakah ia dapat bertahan hidup? Mungkin iya tetapi akan mengalami kesusahan yang sangat besar, baik dari sisi materi maupun psikologinya. Pada akhirnya ia juga akan punah karena tidak menurunkan keturunan. Jadi pada dasarnya, eksistensi manusia tidaklah mungkin bertahan bila hidup sendiri. Oleh karena itu, manusia adalah mahluk sosial, dimana kebutuhan dirinya dipenuhi oleh hasil kerja dari orang lain, dan sebaliknya ia memberikan sumbangsih manfaat kepada lingkungannya. Semua saling berkaitan bagaikan sebuah mesin yg kompleks. Masing-masing individu itu memiliki porsi dan fungsinya masing2, ada yang menjadi gir (gear), pegas, sekrup, baut, tuas, dsb tergantung dari kapasitas dan potensinya masing-masing. Gir yang baik tidak akan berfungsi dalam mesin yang rusak. Bagus atau tidaknya dari sebuah mesin dinilai dari kinerjanya secara keseluruhan. Oleh karena itu bila kinerja mesin itu macet atau terganggu, berarti ada penataan komponen-komponen di dalamnya yang tidak tepat atau yang rusak. Karena kinerja dari masing-masing komponen tidak bisa dinilai dari dirinya sendiri, melainkan harus dilihat dari konteks keutuhan / keseluruhannya, apakah memberi sumbangsih positif ataukah menghambat.
Dari perumpamaan diatas maka kita dapat lihat bahwa manfaat dari setiap dan untuk setiap orang di dalam suatu ruang kolektif bukanlah dinilai dari ukuran kebaikan pribadinya, melainkan diukur dari sumbangsih positifnya kepada publik. Demikian pula, seorang dikatakan buruk atau jahat dari dan untuk setiap orang dilihat dari pengaruh membahayakan (harm) kepada masyarakatnya secara umum (bukan khusus) apalagi ukuran personalnya.
Contoh : seseorang boleh saja meyakini bahwa dirinya memiliki konsep kebajikan atau kepribadian yang sempurna, akan tetapi bila secara sosial ia memberikan kerugian, gangguan keamanan, kenyamanan, maka ia dapat disebut sebagai buruk.
Oleh karena itu, apa yang baik / buruk dalam diri seseorang diukur melalui hasil akhir yang muncul secara kolektif. Karena secara kolektif, masyarakat tersusun dari individu-individu, maka apa yang ditemukan dalam tataran kolektif adalah cerminan yang ada di dalam masing-masing individunya. Manfaat yang dirasakan secara kolektif tergantung dari sumbangsih masing-masing dari setiap individunya. Demikian juga sebaliknya, ketidakamanan/nyamanan kolektif adalah karena sumbangsih dari masing-masing individunya. Segala sesuatu yang dilakukan oleh seorang individu di dalam masyarakat itu pada akhirnya kembali kepada dirinya juga. Bila ia melakukan kebajikan maka ia akan merasakan kebajikan dari orang lain, sebaliknya bila ia jahat ia akan merasakan orang lain akan menhalangi dirinya. Ini tidak dapat dipungkiri, karena kita harus melihat "mesin kemasyarakatan" itu sebagai sebuah keutuhan. Dapat disimpulkan bahwa yang kolektif dan yang individual itu pada dasarnya adalah satu dan sama. Jadi, kelompok masyarakat yang hendak memisahkan diri, sudah tentu akan memberi dampak negatif kepada keutuhan itu. Dengan demikian, secara kolektif masyarakat besar itu dapat dianggap sebagai sebuah mesin yang rusak sehingga perlu diteliti sebab-sebabnya dari bagian-bagian mesin yang bermasalah tersebut.
Dari sini kita sudah dapat melihat bahwa baik dan buruk sebenarnya hanyalah ukuran dari sebuah sistem kebersamaan yang ukurannya dinilai dari kontribusi masing-masing komponennya kepada publik. Dengan kata lain, maka harus dikatakan bahwa tiap individu sebagai bagian dari masyarakat tersebut harus berperan aktif dan memberi kontribusi secara positif kepada kolektif; tidak menerima lebih daripada porsi yang seharusnya, dan tidak mengambil bagian dari porsi yang diberikan kepada temannya. Oleh karena itu, dari sinilah kita dapat melihat betapa buruk dan jahatnya korupsi itu, karena korupsi tidak saja merugikan secara material, tetapi juga merusak sistem kolektif, merusak jiwa individual, bahkan merusak makna tentang kebajikan itu sendiri.
Dengan demikian, untuk menjaga agar sebuah mesin kemasyarakatan tetap dapat berjalan lancar sesuai dengan sikon dan tuntutan medan, maka perlu senantiasa mendapat feedback, melakukan koreksi baik dalam tataran individual maupun kelembagaannya (badan hukum) agar sistem tetap dapat selalu dalam kondisi yang sehat. Disitulah fungsi konstitusi dan hukum untuk secara taat-azas diterapkan, sehingga bagian-bagian yang baik berkembang, dan bagian-bagian yang buruk dikoreksi , yang menjadi parasit merusak mesin secara sistemik harus diisolasi atau bahkan dieliminasi secara konsekwen.
Lalu, bagaimanakah andil / peran kita sebagai individu untuk menciptakan suatu masyarakat yang baik? Seperti dibahas diatas bahwa kolektif dan individu pada dasarnya adalah satu, maka untuk menciptakan kebajikan sosial maka masing-masing individu harus mentransformasikan dirinya menuju moral yang lebih tinggi secara sosial. Perubahan sosial baru terjadi melalui transformasi dari masing-masing diri kita sendiri menjadi manusia yang bermanfaat. Dan ini bukan saja pengalamalan sila ke-2 dan ke-5 dari Panca Sila, tetapi juga sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, karena setiap orang yg ingin membaktikan diri ke Tuhan, tidak mungkin melakukan baktinya tanpa melalui bakti kepada masyarakatnya tanpa memandang suku-ras-agama. Mengapa? Karena Tuhan bagi orang yg belum pencapai pencerahan tersembunyi dari realitas, dan untuk membawa aspek Ketuhanan menjadi nyata maka kita harus bekerja dengan apa yang nyata di sekeliling kita, karena perbaikan secara kolektif artinya adalah juga perbaikan secara pribadi, pada akhirnya semuanya terangkat ke atas tidak saja secara material tetapi juga rohani. Inilah yang secara spiritual disebut mengikis ego. Revolusi Mental adalah mengikis ego demi rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H