Lihat ke Halaman Asli

Alin FM

Praktisi Multimedia dan Penulis

Hidup di Alam Kapitalisme-Sekulerisme

Diperbarui: 14 Februari 2021   14:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Hidup di alam Kapitalisme-sekulerisme

Hidup memang tidak seindah impian. Kadang harapan juga tak sewangi realita. Itulah kehidupan di alam kapitalisme-sekulerisme telah membawa masyarakatnya  menjadi pribadi yang sibuk mengejar urusan dunia. Mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dan meraih kedudukan yang setinggi-tingginya. Itulah standar kehidupan manusia dengan kepemimpinan berpikir ala kapitalis, kebahagiaan bisa dibeli  dengan bertumpuk harta, tingginya tahta dan jabatan.

Tidak bisa dipungkiri, alam kapitalisme-sekulerisme memang membuat suasana pikiran manusia bagaimana cara esok mendapatkan uang dan kedudukan. Kuliah untuk mendapatkan karir  yang lebih baik. Hafidz Qur'an agar bisa dapat uang dari ma'had. Masuk ke partai politik untuk mendapatkan jabatan. Bekerja jadi ASN agar dapat kedudukan di masyarakat.

Ada pula yang mengambil cara dengan jalan pintas. Tidak lagi peduli dengan jalan yang ditempuh itu haram ataukah halal. Dalam dogma kapitalisme sekulerisme, otak disetir untuk yang penting senang walaupun dengan cara haram.

Sebut saja, mengumpulkan uang dengan instan, seperti korupsi, penipuan, investasi bodong dan cara-cara lain yang cepat dan mudah. Tanpa berusaha keras dan jangka waktu yang lama. Cara instan yang  terlihat "tampak layak" digunakan. Akan tetapi akibatnya buruk di dunia maupun di akhirat tak pernah terpikirkan dalam benak. Itulah alam kapitalisme-sekulerisme, kebahagiaan berstandar pada kepuasan, keinginan dan kepentingan, mutlak didapatkan.

Adanya dorongan, keinginan  dan respon dari  lingkungan sekitar sangat berpengaruh membangun pola instan seperti di atas. Apapun akan ditempuh, karena sudah dianggap kebiasaan yang bisa diterima oleh masyarakat, maka sah-sah saja. Ditambah dengan hukum buatan manusia yang tidak tegas, saling tumpang tindih sehingga cara instan pengumpulan harta dan meraih tahta menjadi budaya. Astagfirullah!

Sayang seribu sayang yang menjadi niat segala perbuatan adalah urusan dunia. Ya, orientasi dunia, tanpa berdasar pada patokan hukumNya. Sayang memang, usaha yang berangkat dari ketelatenan, ketekunan dan kesabaran, yang salah arah.

Allah SWT berfirman :

"Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami  berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh  balasan di akhirat kecuali neraka. Dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan." [TQS. Hd/11: 15-16]

Bukankah apa yang kita tanam pasti akan kita tuai? Jika tidak di dunia, kelak di akhirat, pasti akan mendapatkan balasannya.

Sesungguhnya, memilih aktivitas baik atau buruk di mata Allah SWT adalah sebuah pilihan. Jika kebaikan dan keburukan bersandar pada akal manusia, yang terjadi adalah bias standar dan rapuh. Sering tumpang tindih antara manusia satu dengan yang lainnya. Semua akan tarik ulur sesuai kepentingan dan keinginan manusia, termasuk dalam ranah hukum. Bila seperti ini  maka terjadi kekacauan, perselisihan dan masalah tidak kunjung selesai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline