Hari-hari kembali seperti biasanya. Keceriaan wajah pemilik jiwa dan ragaku tidak pernah berkurang. Atas nama persahabatan, baik aku maupun istri, turut membantu sebar undangan pernikahan para mantan.
"Harus banget pakai acara cipika cipiki ya kalau reuni? Pokoknya mami nggak mau dapat bekasan dari orang lain! Titik!"
Sebuah tontonan yang menyuguhkan temu alumni dengan kehebohannya pun jadi perhatian si ibu negara.
"Itu kan acara selebritis, Mi."
"Tapi kalau nggak diingatkan dari sekarang, bisa saja papi kebablasan main sosor sana sini terus icip-icip pipi yang lain."
"Hohoho. Saking posesifnya atau terlalu bucin sama papi, nih?"
"Huh!" Dia mencebik kesal.
Cantika adalah pujaan hati yang kuperjuangkan sekuat tenaga sejak zaman SMA. Bahkan aku harus terlibat adu jotos dengan Mario karena tidak rela melihat mereka jalan bareng.
Penampilannya dari dulu memang jauh dari feminim. Saat kuliah atau hang out lebih suka memakai celana jeans yang dipadu dengan kaos panjang, jilbab dan sepatu kets. Begitu di rumah, dia akan setia pada kostum celana (kolor) panjang, kaos butut yang katanya lebih adem dan jilbab instan yang simple.
Kini setelah berumah tangga, tidak ada satu pun daster di lemari pakaiannya. Bahkan dia hanya punya satu gamis yang merupakan seragam PKK. Namun meski tidak doyan dandan, dia tetap tampil elegan karena sangat mengutamakan kebersihan dan kerapian dalam segala hal.
"Gosah ngadi-ngadi pakai nyuruh gamisan segala, Pi. Besuk kondangannya like this saja. Yang merasa nyaman atau nggak, kan, mami. Kalau nurutin omongan orang mah nggak ada habisnya."