Lihat ke Halaman Asli

Danu Supriyati

Penulis lepas

Dekap Tuhan di Hati Kita untuk Menghindari KDRT

Diperbarui: 10 Februari 2023   17:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat menimpa siapa saja. Kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikis maupun segala bentuk penelantaran dapat menjadi bencana dalam rumah tangga.

Mengapa sampai terjadi KDRT?

KDRT dapat terjadi ketika amarah menguasai jiwa dan hati. Dalam kondisi emosi, akal seseorang menjadi labil sehingga akan gelap mata, gelap hati dan tidak mampu berpikir jernih. Akibatnya akan terjadi tindak kekerasan pada pasangan maupun pada buah hatinya.

Beda prinsip, ketidakcocokan visi dan misi, kondisi perekonomian yang labil, adanya orang ketiga sebagai kekasih gelap (PIL atau WIL) adalah contoh masalah yang dapat mengakibatkan terjadinya KDRT. 

Penyelesaian masalah berlarut-larut yang pada awalnya hanya saling diam, saling sinis lalu berubah adu mulut, saling tunjuk dan menyalahkan lama-lama akan berakumulasi menjadi amarah yang fatal. Kekerasan verbal mengarah pada kekerasan fisik. Kondisi ini tentu menjadi pressure pada masing-masing individu dalam rumah tangga. 

Pasangan yang tidak harmonis saling melukai dan dampaknya merembet pada sang buah hati. Tidak bisa dipungkiri lagi, anak-anak kerap menjadi pelampiasan kemarahan orang tuanya. 

Mental anak ditimpa kata-kata kasar, umpatan, makian. Situasi dan kondisi seperti ini sangat tidak sehat untuk tumbuh kembang anak. Anak-anak korban KDRT ini cenderung akan menjadi pribadi terlampau introver tetapi dengan kenakalan-kenakalan khas broken home. 

Berkarakter keras, susah diatur, memberontak atau selalu melawan orang-orang di sekitarnya. Luka yang ditorehkan oleh kedua orang tuanya akan selalu terpahat dalam ingatan seumur hidup.

Bagaimana langkah selanjutnya jika terlanjur mengalami KDRT? Apakah harus berakhir dengan perceraian?

Perspektif masyarakat awam tentang kebahagiaan sebuah keluarga cenderung tertumpu pada perekonomian. Kemapanan dari segi ekonomi sering disalahartikan dengan kondisi tulang punggung yang bekerja lalu mampu memberi uang lebih dari cukup kepada keluarganya. Itulah yang disebut bahagia. Dan kelabilan ekonomi pun akan menjadi kambing hitam ketika harus terjadi KDRT.

Amat disayangkan jika kenangan sakral saat kedua pasangan berikrar sehidup semati harus terhapus dengan adanya KDRT. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline