[caption id="attachment_202608" align="alignnone" width="384" caption="Tunggul Argo, si 'anak gunung' Kelud menjadi primadona wisata Jawa Timur. Siapa sangka, di balik pesonanya, Tunggul Argo menyimpan sebuah letusan yang diprediksi jauh lebih dahsyat. (foto: Danu Sukendro)"][/caption]
Lembu Suro dan Mahesa Suro kembali memercikkan murkanya di puncak Kelud lima tahun silam. Ternyata, kemurkaan itu berujung pada ‘kelahiran’ kubah lava Sang Tunggul Argo. Sementara pesonanya dianggap sebagai berkah. Kelak, Tunggul Argo bakal memicu letusan yang jauh lebih dahsyat.
***
Dan, warga lereng Kelud kembali harus menanggung 'dosa' Dewi Kilisuci.. Lembu Suro dan Mahesa Suro - dua raja jin yang dalam mitos Kelud dikubur prajurit suruhan Dewi Kilisuci di puncak Kelud - kembali mengamuk.
Keresahan berkepanjangan melanda ribuan warga lereng Kelud di Kediri dan Blitar. Teka-teki status Awas Kelud sejak 16 Oktober 2007 membuat warga tak jenak tinggal di rumah. Hidup di pengungsian juga penuh ketidakpastian.
Hingga tiga pekan berselang, amarah Lembu Suro dan Mahesa Suro memuncak. Terjadi letusan di kawah Kelud yang terletak di Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri itu.
***
Semburat Asap Naga di Puncak Kelud
3 November 2007, Sabtu sore itu, langit desa Sugihwaras mendung. Perlahan gerimis turun. Tiba-tiba situasi menjadi gawat. Kabar yang diterima: peralatan di Pos Pantau Kelud merekam melonjaknya aktivitas di kawah Kelud. Frekuensi gempa tremor di kawasan kawah tak beraturan, sementara suhu kawah tak terukur lantaran alat pengukur rusak. Kelud meletus!
Petugas Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) meninggalkan Pos Pantau. Kesibukan terlihat di Desa Sugihwaras, 12 km dari Puncak Kelud. Anggota tentara dan polisi berlalu lalang mengevakuasi warga dengan truk. Wajah mereka tegang. Suasana betul-betul panik.
[caption id="attachment_202580" align="alignnone" width="384" caption="Saat terjadinya letusan 3 November 2007, warga panik dan mengungsi. (foto : Danu Sukendro)"]
[/caption]
[caption id="attachment_202582" align="alignnone" width="384" caption="Warga menaiki atap masjid untuk melihat letusan. Namun, pandangan menuju puncak Kelud tertutup mendung. (foto : Danu Sukendro)"]
[/caption] Namun, saya tetap tinggal di kampung itu. Bersama sejumlah warga, saya menaiki atap masjid, sembari berlindung di bawah payung. Lokasi paling tepat melihat puncak Kelud. Menunggu momentum yang tepat. Namun, pandangan menuju puncak Kelud tertutup awan.
PVMBG menyimpulkan telah terjadi letusan. Mana letusan itu? Tak terlihat apa-apa. Tak terdengar suara gemuruh. Hingga Sabtu malam, semuanya masih tanda tanya.
Tak dinyana, tanda tanya semakin besar pada keesokan harinya. Ada sesuatu yang ‘aneh’ di puncak Kelud. Setelah tertidur hingga Minggu dini hari, di rumah Mas Yuli, seorang warga setempat, saya menyusuri jalan tikus, pagi harinya. Ditemani Yuli, saya menemukan view paling tepat untuk melihat puncak Kelud. Di sebuah kebun nanas yang baru dipanen.
[caption id="attachment_202573" align="alignnone" width="384" caption="Kelud mengeluarkan asap tebal, sehari pasca letusan. Sebuah fenomena yang sebelumnya tak pernah terjadi. Foto ini diambil pada 4 November 2007. (foto: Danu Sukendro)"]
[/caption]
Ya, dari kejauhan, Kelud memancarkan asap. Membumbung ke angkasa. Asap itu sesaat membentuk ular naga. Aneh, sebelumnya kawah Kelud berbentuk danau tak pernah mengeluarkan asap. “Sejak lahir, saya nggak pernah lihat Kelud mengeluarkan asap. Kawahnya ‘kan berbentuk danau,” kata Yuli, pria kelahiran Desa Sugihwaras ini, keheranan.
Pertanyaan itu terjawab beberapa hari kemudian. Itulah tanda kemunculan kubah lava yang diakibatkan letusan efusif. Pakar gunung beranggapan, letusan 2007 tertahan sisa magma letusan 1990. Energi letusan dipergunakan untuk mendorong kubah lava yang menyumbat saluran magma, sehingga letusan eksplosif tidak terjadi. Istilahnya, menurut PVMBG, terjadi letusan efusif. Kawah yang sebelumnya berupa danau kini berubah bentuk menjadi kubah lava.
Meski berakhir antiklimaks, setidaknya letusan efusif itu mengakhiri ketidakpastian yang berlangsung selama beberapa pekan ini.
***
Jumpa Pertama dengan ‘Bayi Raksasa’
Kamis, 8 November 2007 adalah hari pertama perjumpaan saya dengan ‘bayi raksasa’ itu...
Hari itu, kampung di lereng Kelud yang sunyi ditinggal penghuninya, kembali dipenuhi lalu lalang. Warga yang mengungsi berbondong-bondong kembali ke rumahnya. Ya, status Awas Kelud dicabut. Diturunkan menjadi Siaga.
Setelah status diturunkan, akses menuju puncak Kelud dibuka. Namun, PVMBG melarang keras warga mendekati zona 5 kilometer kawasan kawah yang masih menunjukkan aktivitas letusan kecil dan dipenuhi asap belerang.
PVMBG menunjukkan gambar CCTV, kemunculan ‘pulau’ di tengah danau kawah yang terus membesar pascaletusan efusif.Rasa penasaran membuncah. "Seperti apa wajah kawah Kelud saat ini?" batin saya.
Ingin mengetahui perubahan kawah Kelud, saya sendirian menuju ke kawah Kelud. Mengendarai motor, saya leluasamelintasi pintu gerbang Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) Margo Mulyo. Pintu gerbang ini selama berminggu-minggu dijaga ketat puluhan anggota polisi. Warga dilarang melintas. Inilah batas Kawasan Rawan Bahaya (KRB) II gunung setinggi 1721 meter di atas permukaan laut ini.
Udara cerah pagi itu. Kicauan burung dan indahnya permadani hijau yang terhampar sepanjang perjalanan menuju puncak Kelud seolah menepis kengerian yang dilontarkan Kelud dua bulan belakangan. Hawa dingin menusuk kulit. Menembus jaket hitam yang saya kenakan. Kecepatan motor saya kurangi, pada kisaran 60 km/jam.
Dari loket Kelud yang kosong melompong, masih 12 kilometer lagi menuju kawah. Melintasi jalan berkelok. Menanjak. Jalan menurun yang tajam. Masih saja sepi. Suasana area parkir kawasan wisata Kelud juga begitu senyap. Nyaris tanpa kehidupan. Sendirian, melintasi terowongan Ampera yang gelap, sepanjang 110 meter. Suara motor saya menggema, begitu keras.
Begitu motor saya melewati terowongan, suara asing terdengar. Gler.. Gler... !! Suara bergemuruh lamat-lamat terdengar dari kejauhan. Asap mengangkasa. Keder juga. Sempat terlintas di benak untuk kembali. Tapi, sudah berpuluh-puluh kilometer, masak harus kembali?
Saya kuatkan hati. Tetap maju. Berdoa terus dalam hati. Pucuk anak gunung menyembul. Itulah pertama kali perjumpaan saya dengan si anak gunung.
Pucuk si anak Kelud menyembul. Ya, dialah sumber suara letusan-letusan kecil itu. Bak bayi yang meronta. Menangis. Si anak kelud melontarkan material-material kecil di sekitar tubuhnya dengan suara menggelegar. Belakangan, saya mendapat informasi dari PVMBG, itulah gejala kubah lava berkembang.
Saya tak berani maju lagi. Berhenti di bawah tangga gardu pandang. Kemudian, saya naik anak tangga gardu pandang. Sekitar 50 anak tangga. Si bayi gunung itu terlihat lebih jelas. Dengan mata kepala sendiri, akhirnya terlihat wajah kawah Kelud. Betul-betul berubah!!
[caption id="attachment_202583" align="alignnone" width="384" caption="Inilah danau kawah yang sudah terlihat keruh saat status Kelud masih Siaga pada September 2007. (foto: Danu Sukendro)"]
[/caption] [caption id="attachment_202574" align="alignnone" width="384" caption="Inilah foto kubah lava pada 8 November 2007. Kala itu, kubah lava masih setinggi sekitar 100 meter dan kerap mengeluarkan letusan kecil. (foto: Danu Sukendro)"]
[/caption]
[caption id="attachment_202584" align="alignnone" width="384" caption="Kubah lava terlihat membara saat malam hari. (repro: Pos Pantau Kelud)"]
[/caption]
Danau hijau nan indah yang saya kenal menghilang. Kubah lava ini tingginya masih sekitar 100 meter. Asapnya mengangkasa. Bau belerang menyengat. Suhu udara di kawasan itu cukup tinggi. Panas menyengat kulit saya.
Saat itu, saya sendirian saja di kawasanitu. Berhadapan dengan ‘bayi raksasa’ itu. Terasa asing. Saya berusaha mengajaknya berkenalan. Tapi, si ‘bayi raksasa’ seolah tak peduli. Dia terlihat masih liar. Bahkan, terkesan ganas.
Biarlah. Saya abaikan perasaan ngeri demi mengambil gambar. Hampir 15 menit. Letusan terus terdengar. Disusul asap membumbung. Rekaman CCTV Pos Pantau Kelud menunjukkan, pada malam hari terlihat lava pijar yang merah menyala pada kubah lava.
Sudut mata sebelah kanansaya menangkap sejumlah warga berjalan. Mendekati kaki sang bayi raksasa... Ups! Mereka seperti tak kenal takut..
***
Ritual Menyambut Kelahiran Anak Gunung
Tanpa pikir panjang, saya mengikuti langkah lima orang ini. Setengahberlari, saya turuni anak tangga menuju kawah. Saya mengenali salah seorang diantaranya. Itu Pak Supardi, salah satu ketua RTdidesa Sugihwaras, tetangga Mas Yuli, tempat saya sering menginap. "Hei, sudah duluan di sini ya," sapa Pak Supardi, sembari terus melangkahkan kaki menuruni anak tangga.
[caption id="attachment_202576" align="alignnone" width="384" caption="Ritual menyambut kelahiran anak gunung yang dipimpin oleh mbah Lan, sesepuh gunung Kelud. (foto-foto: Danu Sukendro)"]
[/caption]
Wah, mereka menjadi amat dekat dengan kubah lava. Sekitar 50 meter dari kaki kubah lava. Sesaji - berbagai jenis bunga dan telur – diletakkan. Duduk mengitari sesaji, mereka melakukan ritual. Tanpa rasa takut. Padahal, di sekitar lokasi mereka duduk, banyak saya jumpai bebatuan. Sepertinya sisa lontaran dari anak gunung itu.
Dipimpin sesepuh desa Suparlan, mereka melakukan ritual. Membakar dupa. Komat kamit. Berdoa dengan bahasa Jawa. Pria yang akrab disapa Mbah Lan itu konon bisa bercakap-cakap dengan Tunggul Wulung, Raja Jin, penguasa Gunung Kelud.
Sesekali, letusan-letusan kecil terdengar. Di beberapa bagian badan si bayi, juga ada longsoran. Bau belerang kian menyengat.Tapi, lima orang ini tak peduli. Seolah tak terjadi apa-apa, mereka meneruskan ritual. Melihat mereka tenang, saya juga menguatkan diri untuk ikut tenang. Terus mengambil gambar. 10 menit berselang, mereka mengakhiri ritual dengan menaruh sesaji di kaki anak gunung.
“Inggih, meniko kagem nyambut ‘anak gunung’ (ya, ini untuk menyambut kelahiran anak gunung),”ungkap Mbah Lan, sang sesepuh.
Kala itu, kubah lava ini hanya disebut warga sebagai ‘anak gunung’ Kelud. Akhirnya, sesepuh desa melakukan ritual. Mencari ilham, apa nama yang tepat. Dan, pada awal 2010, 45 sesepuh di lereng Gunung Kelud menyepakati si ‘anak gunung’ itu diberi nama Tunggul Argo. Dalam Bahasa Indonesia artinya tumbuh.
Ritual Sesaji dan Mitos Dewi Kilisuci
Ritual sesaji merupakan tradisi tahunan warga lereng Kelud. Dalam ritual ini, warga memohon perlindungan kepada Yang Maha Kuasa dari marabahaya letusan Kelud.
Berbagai sesaji dipersembahkan kepada Tunggul Wulung, Lembu Suro dan Mahesa Suro yang dipercaya warga sebagai ‘penunggu’ Kelud.
Dulu ritual ini disebut ritual Larung Sesaji, karena sesaji yang berupa hasil bumi dan makanan dilarung ke danau kawah. Setelah danau kawah ‘hilang’, hanya dikenal ritual sesaji. Di akhir ritual, sesaji hanya diletakkan di kaki ‘anak gunung’.
[caption id="attachment_202577" align="alignnone" width="384" caption="Ritual Sesaji Kelud pada 27 Desember 2009 yang dipadati ribuan warga. (foto: Danu Sukendro)"]
[/caption] Ritual ini diyakini untuk meredam kemarahan Lembu Suro dan Mahesa Suro. Dua raja jin ini disebut-sebut dalam mitos Dewi Kilisuci, putri Kerajaan Jenggolo Manik yang memiliki kecantikan luar biasa. Kisahnya, Kilisuci dilamar Lembu Sura dan Mahesa Sura yang merupakan dua raja jin berkepala lembu.
Dewi Kilisuci menolak kedua raja jin dengan cara halus. Keduanya diberi syarat yang mustahil dikerjakan. Yakni, membuat dua sumur di atas puncak Gunung Keludberbau amis dan wangi yang harus selesai dalam waktu satu malam. Ternyata, kedua raja jin ini bisa memenuhi syarat Kilisuci.
Ketika kedua sumur sudah jadi, Dewi Kilisuci malah meminta keduanya masuk ke sumur masing-masing. Lalu, menyuruh para prajuritnya menimbun keduanya dengan batu.
Warga selalu mengaitkan bergolaknya aktivitas Kelud selalu dikaitkan dengan kemarahan dua raja jin yang berada di dasar kawah.
Entahlah. Mitos itu bisa dipercaya atau tidak. Namun, catatan Pos Pemantau Kelud di Sugihwaras, Kabupaten Kediri, Gunung Kelud sejak 1300 merupakan gunung yang aktif meletus dengan rentang letusan 9 – 25 tahun. Sejak abad 15, letusan Kelud menelan 15 ribu jiwa. Pada abad 20, Kelud meletus pada 1901, 1919, 1951, 1966, 1990 dan 2007. Ahli gunung menyimpulkan, siklus 15 tahunan pada letusan Kelud ini. Selama abad 19, letusan pada 1919 dicatat sebagai letusan paling dahsyat. Selain menelan 5.160 jiwa, letusan Kelud juga merusak sekitar 15 ribu hektar lahan pertanian.
***
Berkah Kubah Lava
[caption id="attachment_202578" align="alignnone" width="384" caption="Tingkat kunjungan wisata di Kelud melonjak pascamunculnya kubah lava. Puncaknya pada libur lebaran, ribuan wisatawan membludak. (foto: Danu Sukendro)"]
[/caption]
Jika melihat betapa indahnya pesona kubah lava saat ini, kengerian itu sejenak terlupakan. Tunggul Argo menawarkan sebuah keunikan dan menjadi fenomena vulkanologi. Tunggul Argo membawa berkah. Inilah wisata andalan Kediri yang memperoleh penghargaan anugerah wisata terbaik di Jawa Timur 2011.
Tingkat kunjungan wisata Kelud meroket pascakemunculan ’anak gunung’. Kunjungan wisata memuncak saat lebaran. Jumlah pengunjung perharinya bisa mencapai 10 ribu orang, dari berbagai belahan Indonesia.
Magnit wisata ini juga memicu ketegangan antara Kabupaten Kediri dan Kabupaten Blitar yang mengklaim sebagai pemilik kawasan kawah Kelud. Tapi, sejenak lupakan sengketa dua kawasan bertetangga yang ditangani oleh Pengadilan Tata Usaha Negara ini. Ngomong-ngomong, Anda penasaran dengan keindahan wisata Kelud ini?
Jika kebetulan melintas di Kediri, tak ada salahnya Anda mengunjungi Sang Tunggul Argo. Mencapai puncak Kelud yang terletak sekitar 45 km di timur Kota Kediri ini tak sesulit gunung lain. Jangan membayangkan tantangan petualangan pendakian puncak gunung. Infrastruktur jalan telah dibangun Pemerintah Kabupaten Kediri hingga di tepi kawah Kelud.
Cukup membayar Rp 10 ribu per kepala di pintu gerbang, pengunjung melintasi jalan berkelok menuju puncak gunung. Tibalah di kawasan wisata Kelud. Berbagai fasilitas wisata disediakan pengelola wisata. Mulai flying fox, pemandian air panas, bioskop yang menggambarkan berbagai fenomena vulkanologi kelud. Tiap 50 meter tersedia shelter untuk sekadar beristirahat, jalan kaki menuju ‘anak gunung’.
Jika mau, Anda bisa mencapai Kelud dengan kendaraan roda empat, bahkan 500 meter tepat di depan ‘anak Kelud’. Tapi, sesuai ketentuan pengelola wisata, pengunjung harus parkir di areal parkir. Lalu, berjalan sekitar 1 km.
Setelah melintasi terowongan Ampera sejauh 110 meter, anda akan menemui Tunggul Argo. Kubah lava ini kini tingginya sekitar 200 meter. Memang, Tunggul Argo tak setinggi Kelud. Jika diibaratkan manusia, 'anak gunung' ini tingginya hanya sedagu sang ibu.
‘Anak gunung’ ini terlindungi sejumlah 'gunung dewasa'. Selain Kelud ada juga gunung Sumbing di sisi selatan dan gunung Gajah Mungkur di sebelah barat anak Kelud. Di punggung Gunung Gajah Mungkur, ada gardu pandang. Setelah menaiki ratusan anak tangga menuju gardu pandang, pengunjung dapat melihat kawasan Kelud secara utuh.
Dari gardu pandang, Tunggul Argo terlihat jelas. Sementara, dia tak ganas lagi. Kengerian lima tahun silam sejenak terlupakan. Tak ada asap membumbung, seperti di awal kemunculannya. Tunggul Argo tampak lebih dewasa. Kini, anak gunung ini terlihat eksotik. Anggun. Berwibawa. Dan, terlihat ramah. Menyapa pengunjung yang terpesona dengan senyuman memikat khas Tunggul Argo.
Kini, juga disiapkan ‘menu’ wisata Kelud malam hari. Sejumlah lampu 30 ribu watt dipasang memusat di anak Gunung. Menyiratkan keindahan. Sungguh eksotik.
Sama sekali tak terlihat, jika sebenarnya Tunggul Argo menyimpan kengerian. Bagaimana jika kelak dia kembali meraung, yang pastinya jauh lebih dahsyat dibanding tangisan seperti saat saya temui ketika masih bayi?
***
Teka Teki Letusan Berikutnya
Sebuah tanda tanya baru menyeruak di benak warga lereng Kelud. Bagaimana letusan Kelud pada episode berikutnya? Kemunculan kubah lava ditengarai menjadikan letusan Kelud episode berikutnya lebih dahsyat.
[caption id="attachment_202579" align="alignnone" width="384" caption="Inilah detail kubah lava. Masih ada asap dalam skala kecil. (foto: Danu Sukendro)"]
[/caption]
Dikutip dari kompas.com (21 Mei 2012), Kepala PVMBG Surono memprediksi letusan Gunung Kelud berikutnya memiliki dampak jauh lebih besar dibanding sebelumnya. Sehingga, PVMBG terus melakukan pemantauan intensif.
"Kondisi saat ini lebih eksplosif, dengan jumlah material berkisar kurang lebih 160 juta meter kubik. Kondisi demikian, dapat merubah wilayah, apalagi terdampak akibat letusan," kata Surono.
Selama ini, lanjut pria berkaca mata ini, skenario yang ada, kalau meletus ke atas, sudah pasti mengangkat material kubah. Namun, jika meletus ke samping, arahnya yang belum bisa ditentukan.
Untuk mengantisipasi skenario baru letusan Gunung Kelud, pascatumbuhnya kubah lava, PVMBG sedang melakukan riset bekerja sama dengan Kyoto University dengan menggunakan peralatan canggih. Riset itu akan memetakan ulang kawasan rawan bahaya kelud yang diprediksi akan meluas.
Kelud selalu begitu. Sulit ditebak. Tersenyum ramah. Memancarkan pesona dan keindahan. Sesaat kemudian bermuram durja. Dendam Mahesa Suro dan Lembu Suro pada Dewi Kilisuci kerap meminta tumbal manusia tak berdosa.
Mencegah letusan Kelud suatu hal mustahil. Namun, teknologi mitigasi bencana ditunjang kearifan lokal yang mendeteksi bencana sejak dini, diharapkan bisa menghindari jatuhnya korban jiwa. (*)