Lihat ke Halaman Asli

Raden Danurwindo S W A

Universitas Pembangunan Nasional Veteran YK

Dinamika Diplomasi Nuklir Amerika Serikat dengan Rusia

Diperbarui: 26 Mei 2024   05:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendahuluan

Sejarah perlombaan senjata nuklir selama Perang Dingin adalah salah satu bab penting dalam kisah geopolitik abad ke-20, ditandai oleh persaingan intens antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Perlombaan ini dimulai segera setelah Perang Dunia II, ketika Amerika Serikat menggunakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945, menandai dimulainya era nuklir. Uni Soviet merespons dengan mengembangkan bom atomnya sendiri, meledakkan perangkat nuklir pertamanya pada tahun 1949. Peristiwa ini memicu perlombaan senjata yang berfokus pada peningkatan jumlah dan kekuatan senjata nuklir.

Pada tahun 1950-an dan 1960-an, kedua negara berlomba untuk mengembangkan senjata termonuklir atau bom hidrogen, yang jauh lebih kuat daripada bom atom pertama. Amerika Serikat menguji bom hidrogen pertama pada tahun 1952, diikuti oleh Uni Soviet pada tahun 1953. Perlombaan ini juga mendorong pengembangan teknologi peluncuran, termasuk rudal balistik antar benua (ICBM) yang mampu menghantarkan hulu ledak nuklir ke target di seluruh dunia. Krisis Misil Kuba pada tahun 1962 adalah puncak ketegangan, ketika dunia mendekati perang nuklir saat Uni Soviet menempatkan misil nuklir di Kuba, yang hanya beberapa ratus mil dari pantai Amerika Serikat. Krisis ini diselesaikan melalui negosiasi intensif antara Presiden AS John F. Kennedy dan Pemimpin Soviet Nikita Khrushchev, yang setuju untuk menarik misil dari Kuba dengan imbalan penarikan misil AS dari Turki. Selama periode ini, kedua negara juga mulai mengeksplorasi berbagai bentuk perjanjian pengendalian senjata untuk membatasi perlombaan senjata yang tidak terkendali. Traktat Pembatasan Senjata Strategis (SALT I) pada tahun 1972 dan SALT II pada tahun 1979 adalah langkah penting dalam upaya untuk mengendalikan dan mengatur jumlah dan jenis senjata nuklir yang dikembangkan dan dikerahkan oleh kedua negara. Namun, perlombaan senjata tetap berlanjut dengan intensitas yang tinggi, termasuk pengembangan sistem pertahanan misil dan peningkatan jumlah hulu ledak nuklir.

Perang Dingin berakhir pada akhir 1980-an dan awal 1990-an dengan runtuhnya Uni Soviet, tetapi warisan perlombaan senjata nuklir tetap ada. Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis (START) pada tahun 1991 adalah salah satu upaya terakhir untuk mengurangi ketegangan dan mengendalikan persenjataan nuklir, menandai akhir dari salah satu bab paling berbahaya dalam sejarah modern. Perlombaan senjata nuklir selama Perang Dingin menunjukkan bagaimana persaingan ideologis dan strategis dapat memacu pengembangan teknologi militer dengan konsekuensi global yang signifikan.

Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis

                Proyek Pengurangan Senjata Strategis, dikenal sebagai START (Strategic Arms Reduction Treaty), adalah serangkaian perjanjian bilateral antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, dan kemudian Rusia, yang bertujuan untuk mengurangi dan membatasi persenjataan nuklir strategis kedua negara. Perjanjian pertama, START I, ditandatangani pada 31 Juli 1991 oleh Presiden AS George H. W. Bush dan Presiden Soviet Mikhail Gorbachev. START I mengharuskan kedua negara untuk mengurangi jumlah hulu ledak nuklir strategis mereka menjadi 6.000 dan melimitasi jumlah kendaraan peluncur (ICBM, SLBM, dan pembom berat) menjadi 1.600 masing-masing. Implementasi perjanjian ini berlangsung hingga 2001, dan meskipun ada beberapa ketegangan, kedua negara berhasil memenuhi batasan yang ditetapkan.

Melanjutkan usaha ini, START II ditandatangani pada 3 Januari 1993 oleh Presiden AS George H. W. Bush dan Presiden Rusia Boris Yeltsin. START II bertujuan untuk lebih jauh mengurangi jumlah hulu ledak nuklir strategis hingga 3.000-3.500 dan melarang penggunaan hulu ledak MIRVed (Multiple Independently targetable Reentry Vehicles) pada ICBM, yang dianggap destabilizing karena memungkinkan satu roket membawa beberapa hulu ledak. Namun, START II mengalami banyak hambatan dalam ratifikasinya, terutama karena perubahan politik di Rusia dan AS serta perkembangan sistem pertahanan rudal AS yang menimbulkan kekhawatiran di Moskow. Akhirnya, START II tidak pernah sepenuhnya diimplementasikan dan secara resmi ditinggalkan pada awal 2000-an.

Pada 8 April 2010, sebagai penerus langsung dari perjanjian-perjanjian sebelumnya, New START (Strategic Arms Reduction Treaty) ditandatangani oleh Presiden AS Barack Obama dan Presiden Rusia Dmitry Medvedev. New START membatasi kedua negara untuk menempatkan tidak lebih dari 1.550 hulu ledak nuklir strategis yang terpasang dan 700 kendaraan peluncur yang dikerahkan (ICBM, SLBM, dan pembom berat), dengan batas tambahan pada 800 peluncur yang dikerahkan dan tidak dikerahkan. New START juga mencakup ketentuan verifikasi yang ketat, termasuk inspeksi di lokasi dan pertukaran data tentang rudal dan pembom. Perjanjian ini bertujuan untuk meningkatkan transparansi dan meminimalkan risiko salah perhitungan nuklir antara kedua negara. Meskipun menghadapi tantangan politik, terutama di Amerika Serikat, New START dianggap sebagai langkah penting dalam kontrol senjata nuklir dan stabilitas strategis global. Perjanjian ini diperpanjang selama lima tahun pada awal 2021, memperpanjang batasan dan verifikasi hingga Februari 2026, sebagai pengakuan atas pentingnya pengurangan senjata nuklir dalam menjaga keamanan internasional.

Dampak terhadap hubungan  bilateral

                Diplomasi nuklir telah membawa perubahan signifikan dalam hubungan bilateral antara Amerika Serikat dan Rusia, baik dalam hal kerja sama maupun ketegangan. Kesepakatan seperti START I dan New START telah membantu mengurangi ketegangan dan meningkatkan kepercayaan antara kedua negara melalui pengurangan dan pembatasan senjata nuklir, serta mekanisme verifikasi yang transparan. Namun, dinamika politik dalam negeri di kedua negara sering kali mempengaruhi keberlangsungan dan implementasi perjanjian ini. Misalnya, perubahan administrasi di Amerika Serikat, dengan beragam pandangan terhadap kontrol senjata, telah menimbulkan ketidakpastian mengenai masa depan perjanjian. Di Rusia, kebijakan luar negeri yang dipengaruhi oleh kekhawatiran keamanan nasional dan pandangan terhadap ekspansi NATO juga mempengaruhi sikap terhadap perjanjian ini.

Di tingkat regional, dampak dari perjanjian ini tercermin dalam hubungan AS dan Rusia dengan sekutu mereka. Pengurangan senjata nuklir strategis mengurangi risiko konfrontasi langsung, memberikan rasa aman lebih besar kepada sekutu kedua negara. Namun, ketegangan tetap ada, terutama dengan isu-isu seperti pengembangan sistem pertahanan rudal AS yang dipandang Rusia sebagai ancaman potensial. Secara keseluruhan, meskipun diplomasi nuklir telah membawa kemajuan signifikan dalam mengurangi ancaman perang nuklir, tantangan politik dan strategis terus mempengaruhi hubungan bilateral dan stabilitas regional.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline