Lihat ke Halaman Asli

Membenahi Paradigma Tujuan Hidup Kita

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14110259282111245646

Posting-posting sebelumnya mungkin memprovokasi setiap kita untuk mengetahui passion kita, atau kecintaan kita. Apa yang kita cintai? Apa yang kita senangi sehingga terus berkarya meskipun tidak dibayar? Ada juga yang bertanya untuk apa kita mengetahui passion kita? Kalau saya sih jawabnya, untuk menemukan kebahagiaan kita dalam hidup ini yang secara langsung akan menuju kepada kesuksesan.

Mungkin pembaca sudah beberapa kali melihat buku rujukan yang saya gunakan yaitu 8 to be Great, karya Richard St. John. Dan saya tidak bosan untuk memberitahu bahwa buku tersebut ditulis berdasarkan riset selama 10 tahun dengan mewawancarai langsung 500 orang sukses dari profesi a-z. Saya tidak mendewakan buku tersebut tapi saya berusaha menyampaikan sesuatu yang jarang disampaikan oleh pendidikan di negeri ini dan juga berusaha untuk melengkapi kekurangan  yang ada pada buku tersebut berdasarkan keterbatasan yang saya miliki.

Untuk menuju kesuksesan tidak cukup hanya dengan mengetahui passion kita, tetapi ada hal-hal lain yang harus dilakukan. Richard St. John menulis buku tersebut menjadi 8 bab dan memulainya dengan bab passion. Saya sudah merangkumnya dan mengkombinasikannya dengan beberapa literatur lain pada tulisan-tulisan sebelumnya. Masih ada 7 hal lain yang perlu untuk diketahui dan kita lakukan untuk menuju sukses. Tapi sebelum melangkah kesana, mari kita selesaikan pekerjaan kita yang terdahulu yaitu menetapkan passion kita. Passion bukan segala-galanya, tapi segala-galanya berawal dari passion.

Passion adalah langkah awal. Semua yang ada di dunia ini memiliki awal dan akhir. Kalau passion adalah garis start lantas apa garis finish-nya? Kesuksesan? Tentu. Tergantung bagaimana pembaca mendefinisikan kesuksesan tersebut. Kalau kesuksesan diukur dengan materi seperti jumlah uang, kendaraan, tempat tinggal yang mewah, jabatan (atau bahkan jumlah istri) dsb. kemudian pikirkan apa yang pembaca lakukan setelah semua tercapai? Mengejar sesuatu yang lain kah? Atau beristirahat kah?

Jika pembaca mendefinisikan memiliki 100 cabang restoran yang tersebar di Indonesia sebagai garis finish, kemudian tercapai dan membuat target baru, berarti 100 cabang restoran benar-benar “garis finish” bukan? Buat saya itu hanya “check point”. Target sementara untuk menuju target berikutnya. Jika pembaca dulu bermimpi untuk mendaki 7 puncak tertinggi 7 benua kemudian tercapai pada usia 40 dan memutuskan untuk istirahat. Apakah istirahat tersebut garis finish? Kalau iya, misalkan pembaca pendaki tadi punya sisa hidup 30 tahun lagi lantas 30 tahun itu buat apa? Melakukan sesuatu yang lain? Berarti target pendakian yang tadi bukan benar-benar “garis finish” kan?

Oke, gak usah bingung. Kita samakan persepsi. Finish jika merujuk pada kamus webster punya dua peran, kata kerja dan kata benda. Sebagai kata kerja, “to reach the end of (something) : to stop doing (something) because it is completed”. Sebagai kata benda, “the last part of something”. Saya lebih senang menyamakan finish sebagai “the end”. So, what’s your “the end”?

Garis finish kita adalah waktu dimana kita tutup usia. Ketika kita tutup usia kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Jadi benar-benar “the end”. Sisanya adalah warisan kita, legacy. Selama kita hidup secara sadar atau tidak sadar kita yang menentukan nilai warisan kita? Jika warisan dinilai bermanfaat oleh orang lain maka akan melahirkan simpati atau kebanggaan dari penerusnya. Ada juga yang tidak bernilai sama sekali, jadi kita ada atau tidak ada bahkan tidak membawa perubahan bagi orang lain. Ada tapi gak ada. Ada juga yang nilainya minus, merusak. Ini yang biasanya diharapkan cepet mati waktu orang ini masih hidup. Ketika sudah tutup usia dikutuk dan dibenci.

Terlepas dari kepercayaan apapun, mau dia yang menganggap tuhan itu ada atau tidak ada, mereka pada suatu saat akan sampai ke garis finish (tutup usia). Di Islam, tutup usia ini bisa menjadi finish atau check point. Finish karena memang kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Check point karena transisi kita setelah hidup di dunia adalah kita masih harus menghadapi kehidupan di kubur, kemudian kiamat, hari hisab, dsb. endingnya adalah ketika kita masuk surga atau neraka secara tetap.

Saya mengungkit hal ini karena saya ingin membenarkan persepsi finish (atau bahkan membenarkan persepsi sukses juga?) dan yang nantinya akan berpengaruh terhadap penentuan life purpose. Saya jarang menemukan buku-buku mengenai kebahagiaan atau kesuksesan yang ditulis orang barat mengacu pada kematian atau kehidupan setelah mati (kecuali dibuku religi). Kebanyakan mereka menulis untuk sukses yang saya bilang check point tadi atau menulis cara menjadi kaya atau sukses tapi tidak menjelaskan untuk apa kesuksesan itu. Tak heran jika mungkin di antara kita masih bertanya-tanya kaya untuk apa? Melayani untuk apa? Hidup untuk apa?

Jawabannya, tergantung kepercayaan kita. Disini, saya akan membahas life purpose dengan kaca mata Islam. Allah mengingatkan kepada kita mengenai pertanyaan, “hidup untuk apa? “ dengan firman-Nya sebagai berikut:

Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al Mu’minun: 115)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline