Lihat ke Halaman Asli

"Pengorbanan itu Penderitaan" ( Sacrifice is Sadness )

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13743085641679702717

"Pengorbanan itu Penderitaan" ( Sacrifice is Sadness ) - cerpen

Pengorbanan adalah hal baik yang tidak selalu baik, kadang juga bukan yang terbaik. Satu dari sekian banyak cerita akan sudut pandang objektifitas kehidupan. Tentang seseorang yang berkorban menyakiti diri dan menderita selamanya demi cinta dan kesetiaan. Selamat membaca!

"Pengorbanan itu Penderitaan" ( Sacrifice is Sadness ) Jalanan lengang, pukul 12.50 lewat tengah malam. “Aku sering berpikir menganiaya tubuhku akhir-akhir ini” katamu 5 detik yang lalu. “Kenapa? Ada apa? Kamu sudah membayangkan bagaimana rasanya?” sergapku. Dalam mobil kecepatan 80 km/jam. “Aku belum sepenuhnya tahu, yang Aku tahu adalah bagaimana melakukannya..” “Oh sudah sejauh itu, bagaimana caranya kalau boleh tahu?” Aku menambah kecepatan menjadi 100 km/jam. “Pil” jawabmu singkat. “Pil apa?!” “Hydrocodone, itu nama generik vicodin; Penghilang rasa sakit, aku mendapatkannya dari teman yang mempunyai sakit tulang belakang. Dia hanya meminum sebagian dari 1 botol yang berisi 100 pil, perkiraanku sekali tenggakan akan berhasil menganiaya tubuhku” “Kalau over dosis?” Pertanyaanku menajam. “Tidak mungkin, aku sudah cari tahu. Kalau satu tenggak aku meminum sekitar 40 pil, kemungkinan Aku menerima 350 miligram dengan jangkauan berat badan yang sudah aku perkirakan.. lumayan cukup membuatku berada di ambang kematian.” “Bodoh” kataku, lalu memelankan kecepatan. Lampu merah 32 detik hitung mundur. “Sekarang Kamu sarkastis ya..” nadamu ketus dan datar. Mungkin ini percakapan kita terpanjang tanpa saling pandang. “Oya? bukan Kamu yang justru sekarang pragmatis?” kataku cepat dan cukup mengintimidasi. Lampu hijau 60 detik hitung mundur. Aku menginjak gas dalam. “Separah apa yang bisa buat kamu berpikir seperti ini? Hidup itu keajaiban, anugerah yang tidak terbantahkan!” “Hahaha, klasik.. Aku tidak suka di dikte soal kehidupan, life is bullshit as long as I know!” ketawamu tidak keras tapi dalam. Aku diam, volume radio 12.. lumayan cukup menyaingi intonasi suaramu. “hhmm.. Oke, well never mind.. kamu tahu untuk apa aku jemput Kamu?”aku memotong, sesaat Kamu yang diam. “Entah” kamu menaikan bahu “Aku orang yang paling tidak tahu apa isi kepalamu selain uang, kerja dan wanita” "Hal itu yang membuat laki-laki merasa hidupnya hidup" Aku tersenyum tidak membantah, juga tidak mengamininya. “Iya, andai semua laki-laki di dunia ini seperti kamuu…....” kamu terhenti tidak melanjutkan.. “Yaa.. maaf.. kita sudah sampai” aku memotong.. “Oh akhirnya kita punya tujuan, aku pikir perjalanan kita tidak akan pernah ada tujuan..” katamu ketus. “Dira, Aku selalu mengecilkan masalah kita yang besar, tolong besarkan keyakinan hati kita yang kecil” kataku.. memanggil namamu adalah tanda kekesalanku. “Aku sudah memupuk dan membesarkannya jauh dari apa yang tidak kamu tahu. Kita adalah ribuan beda dengan satu rasa” katamu pelan. Mobil mati, kamu masih belum mau menatap aku. “Mungkin aku tahu akhirnya kita akan seperti apa, aku pun sudah mengira-ngira jauh sebelum aku bertemu kamu 750 hari yang lalu.” katamu lagi. “Iyaaa.. tapi kenapa baru 2 hari yang lalu aku tahu dari sekitar 1000 lebih pertemuan kita?” nadaku mengerucut tajam. “Aku takut! bercerita sama saja aku menyerahkanmu kepada waktu. Tinggal tunggu detik menit keberapa kamu meninggalkanku.” Aku mengerutkan kening, lalu turun dan menyandarkan punggung di kap mobil, lampu mobil belum mati, sebatang rokok menyala. Sebenarnya nikotin tidak cukup menarik kali ini. Tapi isapan dan tarikan nafas dalam yang membuat dadaku tenang.

*****

Dihadapanku adalah café tua pertama kalinya kita melempar jawaban yang sama ketika pelayan menawari kita menu yang berbeda. Kamu di meja seberang dengan sahabatmu, sedang aku dengan pacarku saat itu. Aku tersenyum, kamu tidak. Tapi mata kita saling berpeluk satu sama lainnya. Café ini besar, di kaki bukit.. bangunan lama dengan lantai linoleum retak dan usang. Mungkin beranda di sekelilingnya juga perlu di cat ulang. Ah, penampilan café ini tidak sebagus sejarah kita. “Lalu bagaimana?” kamu keluar mobil berjalan lalu berdiri menciptakan siluet membelakangiku. “Apanya?” jawabku skeptis. “Aku terlalu lemah untuk kehidupanmu, aku bukan apa-apa kecuali kematian” suaramu samar. Bukan angin yang menyamarkan, tapi kepahitan di batinmu yang mendalam. “Lihat aku sekarang” katamu sambil membalikan badan, hingga akhirnya kita saling bertatapan. “Apa Aku di mata kamu sekarang?” pipi tirusmu mulai basah. Tangan kiriku menghapus dengan sendirinya. Pukul 1.15 malam—sepi. “Aku masih Aku yang selalu ada dimana kamu butuh Aku, sekarang Kamu yang lihat Aku! Kekhawatiranmu yang menghancurkan pikiranmu sendiri Dira. Aku bukan sedang mendongengimu kisah klasik tentang cinta dan perjuangan. Tapi Aku masih percaya dengan mimpi kita. Aku pejuangmu sekarang!!” Kamu diam, tertunduk. Aku tidak bisa mendengar suara apa-apa kecuali tegukan tangismu yang pelan dan perih. Aku mengangkat dagumu. “Aku sayang Kamu” kataku tanpa suara, seperti kebiasaanku. Kantung matamu menghitam. Detik berlalu, kita berpelukan. “Aku adalah impianmu bukan kenyataanmu.” Suaramu terdengar jelas di kupingku. Jadikan Aku masa lalu, bukan masa depanmu. Semudah Kamu menghapus banyak harapan perempuan yang tulus mencintaimu menjadi lembar cerita silammu.” “Aku tidak perduli.. Aku mau Kamu!” kataku menekan. “Kamu egois, sekarang lihat lagi Aku” Kamu melepas pelukan, melihatku tajam. Sangat tajam. “Kamu berhak atas kehidupan bahagiamu, denganku Kamu hanya akan menderita. Hubungan kita tidak akan pernah bisa lama! tolong sadari itu” Kamu memaksa, Aku menggelengkan kepala. “Aku tetap tidak perduli, kamu cukup tahu Aku” sahutku. “Iya, laki-laki keras otak. Lihat Aku!!” Kamu berteriak. “Lihaat!! laki-laki mana yang mau membangun impiannya dengan perempuan penderita ODHA positif!!! Aku tidak punya apa-apa selain kematian!! Tolooong.... Aku sayang Kamu melebihi nyawaku sendiri.. meninggalkanku adalah bentuk Kamu menyayangiku.. bangun masa depan cerahmu tanpa Aku bodoh!!!!” tangismu mengencang, teriakanmu keras, sangat keras. Ada nyelekit di dadaku, dan rasa sesak menahan tangis di tenggorokanku. “Aku penanti setia kematianmu” kataku lirih. “sebaliknya, meninggalkanmu adalah kematian untukku. Aku tidak akan pernah mau menjadi manusia terakhir yang meninggalkanmu sebelum Kamu meninggalkan duniamu. Keluargamu, temanmu, lingkunganmu adalah makhluk paling tolol sejauh yang Aku tahu.. sayangnya Aku tidak setolol mereka yang pergi dan Kamu sendiri menghadapi semua ini! Aku akan tetap di samping Kamu, tetap menjadi satu-satunya makhluk yang paling Kamu butuh” tangisku pecah kali ini, mataku terlalu kecil membendungnya. Kamu diam lalu menghapus pipiku yang basah dengan tanganmu yang mengecil, mata cekungmu nanar menatapku. Aku memelukmu erat, dan tulang-tulang badan kurusmu terasa di dadaku. “Dengar, jangan pernah menghitung seberapa lama kamu kuat tanpa aku. Tapi hitunglah, seberapa tabah aku menghadapimu. Kurang cukup untukmu?” kataku lagi, kamu hanya diam, tidak ada jawaban hanya semakin erat saja kita berpelukan. “Kamu kenapa?!” tanyamu panik.. darah menetes dari hidungku. Kemeja putih di pundakmu memerah. “Entah mungkin hanya kelelahan” jawabku. Tiba-tiba .... brukkk.. Aku jatuh, gelap.. terakhir yang kudengar adalah teriakanmu yang khas. Aku tidak bisa merasakan apapun selain dingin. Sangat dingin saat ini, mataku perlahan-lahan membuka, ada cahaya lampu, selang infus, dan ada Kamu tertidur sambil memegangi tangan kananku. Ah, Aku di rumah sakit. ada apa.. secepat itu kah. Tanyaku dalam hati. Kamu terbangun.. ini pukul 9.30 pagi. “Syukurlah Kamu sadar.. Gimana keadaan kamu? apa yang kamu rasain sekarang?!” pertanyaanmu tidak melebihi kekuatiran di rautmu. Itu adalah pertanyaan yang masih ingin aku tanyakan pada diriku sendiri. Lalu datang dua orang dari pintu sebelah barat. Dokter dan suster. Kamu berdiri. “Randy kenapa? Bagaimana hasilnya?” katamu dengan nada harapan dan penasaran. “Kami sudah melakukan tes dan pengambilan sample darah untuk pemeriksaan lebih lanjut di laboratorium. Kami pun sudah menggunakan metode Elisa untuk memastikannya.. Dan hasilnya......” Dokter itu berhenti Ia melihat lagi kertas di genggamannya. Suasana semakin aneh, sangat aneh. "Jadi gimana?" katamu sedikit menghentak. Dokter itu melihatku tajam.. "Mohon maaf, dengan berat hati Kami harus menyampaikan ini. Anda terindikasi terjangkit HIV ” suara dokter itu terdengar menusuk. Sangat menusuk. “Ngga mungkin.. ini ngga mungkin!!” katamu berteriak mendekati dokter “Ini mustahil.. demi Tuhaan, bagaimana bisa?!” Kamu membentak dokter dengan keras. “Satu kalipun Aku tidak pernah melakukan apa-apa dengan Randy.. karena Aku tahu Aku apa! lalu bagaimana bisa dia terjangkit virus biadab itu?!” katamu lagi.. Kamu menangis, pecah dan kencang. Terlihat sedikit keringat keluar dari samping dahi Dokter. Ia mengusap kecil punggungmu. “Sekali lagi mohon maaf, dan terlepas dari itu semua kami akan menanganinya jauh secara intensif, tentunya dengan tes lanjutan konfirmasi menggunakan Western Blot (WB).” Kata Dokter sambil melihat kearahku lalu pergi meninggalkan kami di ruangan dingin yang menjadi semakin dingin ini. “Maafin Aku.. maaf” katamu dengan tangis lirih dan dalam. “Kenapa harus minta maaf Dira?! Ini bukan salahmu.. Aku menyambangi takdirku untukmu” kamu terdiam.. “Maksud Kamu?” “Semua akan baik-baik saja” kataku, mencoba menenangkanmu. “Kamu ingat, janji kita.. kita adalah kebersamaan. Mimpi kita terlalu besar jauh melebihi mimpiku sendiri. Mungkin juga jauh melebihi mimpi para pemimpi.” “Aku masih belum mengerti” katamu dengan getar cemas. “Hampir setengah tahun yang lalu sebelum Aku ke luar kota, Aku mengantarmu check up di rumah sakit.. ada rasa penasaran besar dalam diriku, apa yang buat fisik dan psikis kamu berubah ratusan derajat. Dengan segala cara Aku mencari informasi tentang penyakit apa yang sebenarnya menjangkitmu. Akhirnya Aku mendapatkan beberapa lembar soft copy data informasi result medical check up penyakitmu. Saat itu juga aku tahu penyakit apa yang ada di tubuh kamu.. laluuu...." Aku terhenti tidak melanjutkan. Cukup lama. “Lalu apaa?!” bentakmu.. Aku memberanikan diri melihat matamu yang memerah. “Lalu aku.. aku mentransfusikan darahmu ke dalam tubuhku.” Kataku terbata. Plaaak!! kamu menamparku. Keras, sangat keras.. hingga mampu menggetarkan tiang selang infus.. tapi tidak lebih hebat dari kerasnya keyakinanku untuk tetap bisa bersamamu. "Dira, Aku adalah omong kosong yang paling ingin Kamu bahagia. Perasaan ini di luar akal sehatku, jauh dari batas kekuasaan pikiranku. Mungkin dengan ini, tidak lagi ada alasan untuk kita saling terpisah." Aku juga tidak tahu kenapa ini terjadi begitu cepat Dira, seharusnya virus itu menyerang imun di dalam tubuhku selama 5 hingga 10 tahun. “Tolol!!!! kamu manusia paling tolol yang pernah aku kenal….. ya Tuhaaaaann…..” kamu menjatuhkan dengkulmu ke lantai. Belum pernah aku melihatmu sekacau ini. Kamu menyujud di lantai, tangismu sangat pecah dan kencang yang belum pernah aku dengar sebelumnya. “Dengan cara apalagi aku bisa meyakinkanmu? Pada akhirnya juga kita akan mati.. aku mencintaimu hidup dan mati Dira. Ini memang perasaan paling brengsek yang aku tahu. Tenang Dira.. Sekarang, mari kita lalui sakit ini bersama-sama. Kali ini kamu tidak sendiri Dira.. Lihat, Kamu benar-benar tidak sendiri... tidak adalagi yang perlu kamu khawatirkan dan kamu sembunyikan” Aku tersenyum. Kamu bangun dengan susah payah, lalu duduk di sebelahku. Cukup lama aku melihatmu menangis tanpa henti. “Maafin aku” katamu terisak “Ampuni aku.. ampuuun.. aku selalu menjadikan penyakitku subjek utama agar kita tidak akan bisa bersama” kamu diam, lalu menatapku.. lebih dalam dari biasanya. “sebenarnya....” kamu diam lagi, melepas genggamanku kali ini. “Aku sudah menikah dengan Rio, dokter yang tadi memeriksamu." Ya Tuhaaan aku tidak tahu perasaan apa yang sekarang menancap keras di dadaku. "Randy, Dia dokter spesialis yang memanjangkan nyawaku.. karena dia.. hari ini, tepatnya saat ini Aku masih ada.. karena Dia, Aku memiliki keyakinan hidup. Aku berasumsi kamu pasti akan pergi meninggalkan aku sama seperti yang lainnya jika tahu apa penyakitku, terlebih sewaktu kamu bekerja di luar kota. Saat itu Aku yakin kamu tidak akan pernah kembali. Nafasku sesak, benar-benar sesak.. pandanganku buram dan kabur, mungkin aku sudah tidak sanggup sanggup mendengar penjelasanmu. Aku memejam dan kamu tetap melanjutkan. “Hanya Rio satu-satunya orang yang tahu dan bisa menerima kondisiku. Bahkan Rio berkeyakinan kalau aku bisa disembuhkan. Aku lebih baik dari sebelumnya Randy, aku bersusah payah melakukan terapi ARV (Antiretroviral) untuk penyembuhan. Rio yang support aku mati-matian, bahkan Ia berani menikahiku. Kita tidak cukup berkomunikasi dengan baik Randy, itu sangat tidak cukup. Kesibukanmu menghilangkan perasaanku. Aku butuh raga nyata kamu ada di samping aku Randy.” Aku lemas, mulutku kaku.. Aku ingin teriak tapi tidak mampu. Entah kata apa yang bisa menggambarkan hancurnya perasaanku. Bahasa bedebah apa yang mewakili kekecewaanku saat ini. Kamu menyudahi penjelasanmu dengan menciumi tanganku. Rasanya masih sama, tanganku sangat hapal kecupanmu. Aku membuka mata, Kamu sudah menjauh dari pandanganku. Punggungmu memang terlihat jauh lebih kecil dari hampir 150 hari yang lalu kita terpisah di bandara. “Maafin aku” katamu tanpa suara seperti yang biasa kamu lakukan setiap kali Aku marah. Aku masih mendengar suara tangismu di ujung pintu. kamu terisak sambil menutup mulutmu dengan kedua tangan. Aku tahu itu tangisan yang sangat dalam. Aku bisa apa selain membalas senyummu sambil menahan sesak sakit di dadaku. Aku memejam.. Inilah takdirku.. Entah manusia macam apa aku sekarang. Yang aku tahu, pengorbanan adalah kata lain dari penderitaan. Semoga di suatu saat nanti, kita bisa saling memiliki. di bumi ataupun tidak. Aku tidak akan pernah menyalahkanmu dengan kondisiku saat ini sampai aku mati. Satu hal pelajaran yang pasti, aku akan selalu meletakan logika di atas hati. Barangkali, takdir bukan hanya ketentuan yang sudah Tuhan rencanakan, melainkan pilihan atas ketentuan terhadap apa yang telah kita lakukan. Dan pada akhirnya, Tuhan memutuskan. Yaa.. aku jadi tahu, keputusan adalah awal sebuah pertanyaan yang menjebak. Maka, aku akan terus hidup dan mencoba bijak untuk menemukan jawaban dalam ruang gelap kehidupan. Terima kasih sudah membaca, tetaplah berkarya ^^ - Syaputra Kamandanu Sofwan -

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline