Perhelatan pemilu 2024 sebentar lagi akan di gelar dalam rangka regenerasi pemimpin yang lama dengan pemimpin baru dengan harapan akan membawa udara segar dalam roda pemerintahan di Indonesia, atmosfer persaingan bacalon sudah mulai terasa baik dalam lini masyarakat umum maupun di media sosial, para partai dan relawan sudah punya jagoan mereka masing-masing dalam upaya menaikan sosok yang mereka anggap pantas dalam menduduki singgasana tertinggi dalam negeri ini, banyak pola dan strategi yang mereka lakukan dalam menaikan popularitas bacalon dalam upaya memikat suara masyarakat untuk memilih jagoannya, banyak ragam simpatik dan upaya sikap heroik dilakukan, segala carapun mereka halalkan dalam menjerat suara-suara rakyat.
Menjelang pesta demokrasi pemilu serentak 2024, sudah dipastikan hampir setiap para calon anggota legislatif ( Caleg) DPR RI, DPD, DPRD, dan kepala daerah serta presiden itu diduga melakukan kampanye pembagian sembako dan amplop (ang) untuk pecitraan dalam upaya membrending diri, demi mendapatkan citra positif bahwa dia adalah sosok pemimpin yang peduli akan kesejahteraan rakyatnya, model dan praktik kampanye seperti ini sudah lumrah terjadi, sangat ironis kampanye politik dengan pembagian sembako dan amplop untuk pencitraan, pasalnya hal itu sama saja mengajarkan rakyat sebagai peminta -- minta.
Amplop dan sembako adalah bukti nyata pengkerdilan masyarakat, kita jangan mudah tertipu oleh cara-cara seperti itu, sudah sangat jelas pembagian amplop dan sembako merupakan jual beli suara atau sering kita dengar dengan money politik, masyarakat harus hati-hati dalam hal ini karena amplop dan sembako bisa jadi mengindikasikan money politik, bagi yang terlibat dengan praktek tersebut bisa masuk kasus penyuapan, sanksi bagi orang yang melakukan politik uang dalam pemilu tercantum dalam Pasal 515 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilihan umum (Pemilu). Di dalam pasal tersebut tertulis hukuman bagi orang yang melakukan praktik money politik "Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 36.000.000,00,".
Maraknya praktek money politik menjelang perhelatan pemilu 5 tahun sekali seperti sudah menjadi budaya, ini terbukti dari hasil survei LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) pada 2019 yang menyebutkan masyarakat memandang pesta demokrasi itu sebagai ajang "bagi-bagi rezeki". Dalam survei tersebut ditemukan bahwa 40 persen responden mengaku menerima uang dari peserta pemilu, tapi tidak mempertimbangkan memilih mereka. Sementara 37 persen menerima uang dan mempertimbangkan memilih pemberinya.
Tentunya dalam peraktik kampanye amplop dan sembako ini harus diubah demi kebaikan negara ini kedepannya, money politik ini akan menjadi cikal bakal korupsi, karena pemimpin yang melakukan praktik ini untuk menduduki singgasananya dia akan menuntut balik modal yang dikeluarkan pada masa kampanye, akhirnya setelah menjabat dia akan melakukan berbagai kecurangan, menerima suap, gratifikasi atau korupsi lainnya dengan berbagai macam bentuk. Tidak heran jika politik uang disebut sebagai "mother of corruption" atau induknya korupsi.
Tinggalkan kampanye cara-cara lama dengan membagi-bagi sembako dan amplop tersebut, maka solusinya strategi kampanye yang baik dan benar itu adalah harus disesuaikan dengan komunitas, tradisi, budaya dan keseharian rakyat di daerah pemilihan masing-masing. Lebih variatif, modifikatif dan aktraktif, sehingga gaya strategi kampanye saat ini untuk mendapatkan dukungan rakyat itu, harus disesuaikan dengan kondisi rakyatnya didaerah masing-masing seperti memanfaatkan media online, televisi ttriming lewat youtube, media sosial ( medsos) yakni facebook ,twitter , instragram serta dengan pasang benner door to door dan hasilnya terbukti sangat efektif biaya relatif murah. Dengan melakukan kampanye yang sehat tampa membebankan mahalnya operasional kampanye ini akan meminimalisir terjadinya korupsi.
Pemimpin itu harus jual gagasan untuk bagaimana cara memperbaiki nasib rakyatnya, bukan malah membuat arak-arakan menggiring masa kelapangan cuman mendengarkan celotehan kemunafikan membeli suara dengan amplop dan sembako, kita sebagai masyarakat Indonesia juga harus lebih cerdas dalam menyikapi hal ini, jangan mau kita digiring seperti domba yang tersesat, jangan mau hak kita di kerdilkan dan di cap sebagai rakyat peminta-minta, cobalah mempunyai jiwa yang besar mengamati dampak sebab dan akibat yang lebih serius lagi, mau bagaimanapun kendali terbesar ada di tangan kita, jangan sampai keputusan yang kita ambil pada hari ini akan menjadi kesesangraan bagi kita nantinya, pilihlah pemimpin dan wakil rakyat dari figur-figur yang berintegritas. Masyarakat harus cerdas memilih, jangan terbuai dengan amplop dan sembako semata.
"Satu suaramu akan menentukan nasib negaramu."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H