Logo di atas tentu bukan logo yang asing bagi seluruh masyarakat di dunia. McDonald's merupakan salah satu brand makanan cepat saji yang telah tersebar di seluruh dunia. Restoran ini berdiri tahun 1955 di California, Amerika Serikat. Kini, McDonald's sudah tersebar dengan ribuan toko di lebih dari 100 negara. Kemunculan brand makanan cepat saji seperti McDonald's akhirnya menciptakan sebuah budaya makan fastfood diberbagai negara seperti Indonesia. Sebenarnya, awal kemunculan dari restoran cepat saji dapat dikatakan sebagai solusi bagi para pekerja yang tidak memiliki waktu luang dalam kegiatan mengisi perut.
Namun ketika budaya tersebut diterapkan di Indonesia, akhirnya budaya ini malah melejit menjadi budaya populer dan diangkat menjadi gaya hidup. Gaya hidup yang ditunjukan oleh McDonald's adalah sebuah budaya makan cepat dan mewah dengan harga yang cukup mahal pula. Sebagai budaya populer, akhirnya McDonald's memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menjadikannya komoditas dengan menjadikan cita rasa Indonesia sebagai highlight menu di waktu tertentu. Contohnya seperti, ketika ada burger dengan cita rasa rendang. Atau adanya pilihan menu nasi uduk yang memang sangat sesuai dengan lidah orang Indonesia.
Bentuk populer dari McDonald's akhirnya menciptakan sebuah identitas baru dalam gaya makan. Dengan menu andalannya BigMac dan ditambah dengan keberadaan ayam tepung, McDonald's berhasil mencuri hati pelanggannya. Pelanggan memiliki rasa cinta akan produk makanan cepat saji itu sehingga rela menghabiskan banyak uang. Budaya makan fastfood ini akhirnya melahirnya beberapa brand lokal penyedia ayam lainnya. Kali ini mari kita lihat dengan brand Olive Chicken, penyedia ayam tepung di Yogyakarta.
Olive Chicken lahir pada tahun 2011 silam dengan pendiri pasangan suami istri yaitu Kunardi Sastrawijaya dan Aurora Sri Rahayu. Keberadaan brand Olive Chicken ini memang hanya terbatas di Yogyakarta. Namun, dengan segala keterbatasannya itu Olive Chicken mampu menjadi brand yang mampu diingat oleh setiap kalangan yang pernah mencicipinya di Yogyakarta. Bahkan menurut temukonco.com lewat unggahan di laman Instagram mereka banyak sekali yang mengakui kerinduannya akan sepotong ayam gorong milik Olive Chicken.
Harga yang murah dengan rasa yang tak kalah dengan brand ternama lainnya membuat Olive Chicken pilihan bagi yang ingin makan ayam tepung. Sehingga pada akhirnya, orang Yogya lebih tertarik membeli Olive Chicken daripada membeli ayam di McDonald's dengan harga yang relatif lebih murah.Dalam kaitannya, Olive Chicken menjadi bentuk dari subkultur. Di mana, menurut Masyarakat Yogyakarta telah memiliki pandangan bahwa akan lebih untung memilih Olive Chicken daripada McDonald's.
Inilah yang disebut sebagai keadaan subkultur, yang mana menurut Ryan (2010:86-88) subkultur dapat diartikan sebagai cara masyarakat memandang lain tentang adanya budaya yang telah ada. Budaya yang dimaksud sekarang adalah budaya makan ayam goreng tepung ala fastfood yang ternyata bisa didapatkan secara mudah dan terjangkau. Karakter McDonald's sebagai budaya dominan di Yogyakarta akhirnya pelan-pelan bisa tergantikan dengan munculnya produk ayam goreng tepung lokal seperti Olive Chicken. Namun, Olive Chicken juga tidak bisa dibilang menggeser McDonald's karena keberadaannya yang hanya di Yogyakarta dan juga McDonald's jauh lebih dikenal oleh orang lain dan masih banyak digemari.
Hingga sampai sini, di antara McDonald's dan Olive Chicken memiliki kaitan dengan hadirnya politik identitas. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa kehadiran orang yang menggemari Olive Chicken merupakan suatu bentuk resistensi terhadap budaya dominan yang ada yaitu McDonald's. Begitu pula yang tertulis dalam buku Ryan (2010:88), bahwa kehadiran subkultur karena bertentangan dengan budaya dominan yang penuh dengan ketidakadilan, berorientasi pada kekuasaan, otoritas dan kekuatan dominan.
Jika dikaitkan, maka Olive Chicken berusaha menekankan bahwa budaya makan ayam goreng tepung bukan lah budaya yang mahal. Masyarakat tidak harus memiliki uang yang banyak agar bisa menikmati gaya hidup 'mewah' yang ditawarkan. Dari bahasan ini, akhirnya dapat disimpulkan bahwa timbulnya budaya subkultur justru bukan untuk menggeser. Munculnya subkultur sebenarnya hanya untuk menciptakan pandangan baru tentang budaya dominan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Mcdonalds.co.id. About. Diakses di https://mcdonalds.co.id/about .