Lihat ke Halaman Asli

Danny Prasetyo

Seorang pendidik ingin berbagi cerita

Guru 8 Jam Kerja, Kuantitas atau Kualitas?

Diperbarui: 23 Oktober 2016   14:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Jurusan apa yang akan kamu ambil selepas SMA nanti ?" Jika pertanyaan tersebut ditanyakan kira-kira sepuluh tahun lalu, maka menjadi guru masih belum banyak yang langsung menjawabnya dengan pasti. Tetapi sejalan dengan adanya tunjangan profesi guru serta makin meningkatnya kesejahteraan para pahlawan tanpa tanda jasa ini, maka masuk dalam kuliah keguruan menjadi salah satu bagian dari rencana para lulusan alumni SMA saat ini. Lepas dari apapun motivasinya, bukankah menjadi hal yang positif dan baik jika memang profesi guru ini seharusnya menjadi profesi yang menjadi perhatian khusus dari pemerintah, jika memang ingin memajukan bangsa ini menjadi bangsa yang memiliki peradaban dan pendidikan tinggi.

Meski demikian, profesi guru ini masih kerap kali belum menjadi profesi yang bergengsi di kalangan masyarakat Indonesia jika dibandingkan dengan profesi dokter misalnya. Padahal jika dicermati, guru dan dokter memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang sama beratnya. Jika dokter mengobati penyakit yang ada di tubuh, maka guru juga mengobati penyakit di pikiran dan jiwa seseorang agar sembuh dari penyakit bodoh, malas. Tanggung jawab yang sama besarnya ini ternyata berbeda dalam hal penghargaan di masyarakat, contohnya : betapa bangganya orang tua ketika mengatakan anak saya adalah seorang dokter, tetapi tidak banyak orang tua yang bangga menyebutkan bahwa profesi anaknya adalah seorang guru. 

Tidak hanya itu, sebagian orang tua pasti tidak akan memprotes jika anaknya ditanya dan menjawab cita-citanya menjadi dokter, akan tetapi jika si anak menjawab akan menjadi guru, maka pasti orang tua mempertanyakan alasan si anak memilih cita-cita tersebut. Saya tidak sedang membandingkan kedua profesi tersebut, tetapi hanya membuka mindset yang diakui atau tidak, tetapi itulah yang berkembang dan dialami masyarakat Indonesia saat ini, dan apa yang saya tuliskan ini merupakan hal yang saya pribadi juga alami.

Ketika Jepang kalah perang tahun 1945, pertanyaan awal yang ditanyakan oleh sang Kaisar Jepang tersebut adalah berapa jumlah guru yang masih hidup di negeri tersebut. Bukan tanpa alasan jika sang kaisar menanyakan hal tersebut, karena tentu kaisar memiliki visi jangka panjang untuk bangsanya agar bangkit kembali dari kekalahan dan kehancuran negaranya akibat perang tersebut. Mungkin yang ada di benak kaisar adalah dasar utama kemajuan sebuah bangsa adalah sumber daya manusia dan bukan sumber daya alam yang dimiliki ataupun hebatnya infrastruktur yang dimilikinya. 

Makin banyak manusia cerdas dan berkarakter benar, maka sudah menjadi jaminan bahwa kemajuan bangsa tersebut hanya tinggal menunggu waktu. Visi sang kaisar tentu bukan visi slogan tanpa implementasi, tetapi hal tersebut benar-benar terwujud kurang lebih 30-40 tahun kemudian, maka generasi manusia yang dididik pasca kekalahan perang Jepang menjadi manusia-manusia unggul, tapi juga berkarakter di bidangnya. Jepang menuai hasilnya dengan menjadi salah satu macan Asian, bahkan sebagian produk dari negeri matahari terbit tersebut diakui oleh berbagai negara adalah produk dengan kualitas bagus dan memiliki standar yang tinggi. 

Tidak hanya itu, sumber daya manusia Jepang juga menjadi contoh bagaimana seharusnya kualitas seorang profesional yaitu pekerja keras, jujur, menghargai waktu dan berani bertanggung jawab serta mau mengakui kesalahan serta memiliki etos kerja yang tinggi. Bisa jadi di Jepang seorang guru bekerja kurang atau lebih dari 8 jam, akan tetapi yang terpenting bukan kuantitas, tetapi bagaimana dengan kualitas hasil dari 8 jam kerja tersebut.

Kemajuan salah satu bangsa yaitu Jepang ditentukan bukan hanya jam kerja yang panjang tetapi juga kualitas pekerjaannya. Kembali kepada rencana 8 jam kerja bagi guru, sebenarnya bukan hal yang besar dan biasa saja menurut penulis yang sebenarnya sudah melakukan 8 jam kerja sebagai seorang guru. Justru yang harus dipertanyakan bukannya kebijakan pemerintah tentang pemberlakuan guru kerja 8 jam, akan tetapi bagaimana pemerintah harus adil dalam melakukan kewajibannya untuk memberikan haknya bagi guru khususnya dalam pemberian tunjangan bagi profesi guru.

Menjadi pertanyaan buat penulis sebenarnya, mengapa tunjangan guru yang tiap bulannya masih kalah jauh dibandingkan tunjangan pegawai pajak misalnya tetapi selalu disertai dengan berbagai peraturan dan kewajiban lainnya. Seorang pegawai pajak dengan pangkat terendah, tunjangannya (tanpa disertai berbagai syarat) sekitar 5 juta rupiah/bulan, bandingkan dengan seorang guru yang untuk sertifikasi perlu ujian kompetensi, PLPG / pelatihan guru, dan barulah tunjangan tersebut akan keluar sekitar 1,5 juta rupiah/bulan. 

Tulisan ini sekedar membuka wacana bahwa jika memang pemerintah berniat untuk memberikan penghargaan kepada profesi guru, seharusnya langsung memberikan tanpa kemudian memberikan banyak aturan-aturan tambahan yang justru menambah beban pendidik dan pada akhirnya belum tentu semua guru pasti akan menerima tunjangan sertifikasi, padahal jika guru 8 jam ini berlaku maka yang belum mendapat tunjanganpun juga terkena dampaknya. Bagaimana pak menteri ??

23 Oktober 2016

-danny-

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline