"Guru Honorer SD Kecamatan Terentang, Kalimantan Barat, meminta beberapa siswa memotong rambut mereka karena sudah panjang demi kedisiplinan. Para siswa juga sudah diperingatkan tiga kali. Namun permintaan sang guru tidak diindahkan para siswa sehingga sang gurupun memotong rambut beberapa siswa tersebut. Namun hal tersebut membuat salah satu orang tua siswa tidak terima dan mendatangi rumah sang guru serta kemudian memotong rambut sang guru tersebut." (Sumber : Harian Kompas, Sabtu 4 Juni 2016).
Kejadian tersebut tentu menjadi sebuah ironi dalam segitiga pendidikan yaitu guru (sekolah), orang tua dan siswa. Pendidikan yang dilakukan oleh sekolah dalam hal ini guru, bukanlah semata-mata pengajaran atau transfer materi pelajaran, tetapi juga pembentukan karakter. Setiap lembaga pendidikan formal dalam hal ini sekolah tentu memiliki peraturan-peraturan yang umum sudah berlaku dan tentu hal tersebut sesuai dengan norma dan tidak melanggar hak asasi dari siswa yang dikirim orang tuanya untuk mengenyam pendidikan di sebuah sekolah tersebut. Salah satu peraturan tersebut adalah tentang kerapian rambut bagi siswa, diantaranya : rambut rapi dan tidak boleh panjang tentu dengan batas tertentu sesuai dengan peraturan dari pihak sekolah.
Kejadian orang tua memotong rambut guru karena tidak terima rambut anaknya dipotong sang guru karena dianggap melanggar aturan sekolah, tentu menjadi hal yang tidak bisa dianggap remeh, karena hal ini tentu secara tidak langsung menghina korps guru sebagai pendidik. Secara pribadi, penulis tentu ingin agar orang tua tersebut diproses secara hukum, karena jika tidak maka dapat menjadi preseden buruk bagi dunia pendidikan khususnya profesi guru.
Selain itu, hal ini menunjukkan ketidakdewasaan orang tua dalam menyikapi suatu permasalahan, sehingga tidak heran mungkin hal tersebut yang ditiru sang anak dengan tidak mau memotong rambutnya yang panjang dan melanggar aturan sekolh walaupun sudah diperingatkan karena dia yakin orang tuanya akan membelanya walaupun hal tersebut melanggar aturan. Apa yang dilakukan orang tua tersebut tentu berlawanan dengan semangat revolusi mental presiden Jokowi untuk membuat generasi muda menjadi pemimpin yang mau dididik secara mental serta karakter dan juga taat akan aturan yang berlaku, serta bukan sembarangan saja bertindak.
Bagi institusi sekolah tentu hal ini menjadi suatu pelajaran bahwa jika ada kejadian orang tua tidak terima didikan oleh guru kepada anaknya yang menjadi siswa, maka orang tua diminta menarik anaknya dari sekolah tersebut atau sekolah dapat mengembalikan siswa kepada orang tuanya dan orang tua mungkin menyekolahkan sendiri (home schooling) serta mendidik dengan caranya sendiri.
Dimanapun sekolah pasti memiliki aturan dan bisa jadi aturan tersebut tidak sesuai dengan prinsip orang tua. Untuk orang tua macam begini mungkin lebih baik tidak perlu mensekolahkan anaknya di sekolah formal, jika tidak bersedia untuk mengikuti aturan yang ada di sekolah tersebut. Tidak heran memang siswa saat ini menjadi tidak hormat kepada guru ataupun orang yang lebih tua, jangan-jangan hal tersebut bukan hasil didikan dari sekolah tetapi justru dari lingkungan sosialisasi primer sang anak yaitu keluarga dalam hal ini orang tuanya.
Jika guru melakukan tindak kekerasan pada anak, maka dengan mudahnya orang tua maupun pihak-pihak lain menyalahkan sistem pendidikan serta menyalahkan guru terhadap tindakannya tersebut. Akan tetapi, seringkali mereka lupa bahwa terkadang yang memicu guru melakukan tindakan tersebut adalah sikap anak yang tidak hormat, tidak sopan dan terkadang tidak tahu aturan.
Hal tersebut tentu adalah bawaan dari rumah dalam hal ini keluarga yaitu orang tuanya. Oleh karenanya kerjasama antara orang tua dengan guru (sekolah) diperlukan dengan berdialog sesering mungkin dan saling mendukung untuk menyelenggarakan pendidikan kepada anak atau siswa. Perlu diingat pendidikan bukan hanya transfer mata pelajaran tetapi juga mendidik secara karakter.
salam kompasiana,
6 Juni 2016
-dny-