POLITIK IDENTITAS DAN POPULISME ISLAM PADA PILKADA DKI JAKARTA 2017
Oleh: Daniyla anqiha kayyis
Prodi: Ilmu Al-quran dan Tafsir
STAI Al Anwar
Indonesia merupakan negara dengan beragam perbedaannya baik dari budaya, etnis, agama, dan ras meskipun demikian adanya masyarakat yang beragam ini tidak Bersatu dalam tatanan dan struktur sosial politik atau yang disebut dengan masyarakat majemuk (plular society) sebagaimana yang di devinisikan oleh J.S Furniall (dalam Lee, 2009) bahwa masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen atau tatanan masyarakat yang hidup berdampingan namun tidak membaur dalam, dalam satu unit politik.
Kondisi ini dapat memicu adanya gesekan antar komutitas melihat tidak adanya kehendak yang menyatukan mereka, Adapun masyarakat dengan identitas yang berbeda ini bisa hidup berdampingan dengan adanya saling ketergantungan ekonomi atau hadirnya market place.
Pasar inilah yang kemudian mempertemukan antara mereka sehingga terjadi interaksi dan komunikasi disana, namun Ketika market place ini hilang maka tidak ada lagi factor yang menyatukan antar komunitas yang berbeda tersebut.
Beebagai cara dilakukan pemerintah untuk mengelola masyarakat majemuk ini agar tidak hanya mengandalkan market place saja karena bersifat sementara (temporal), salah satunya adalah dengan doktrin nasionalisme hal ini dilakukan agar masyarakat tidak larut dalam Tindakan anarki, isu nasionalisme itu menjadi sangat efektif pada masa penjajahan karena masyarakat yang majemuk mau tidak mau harus Bersatu demi mencapai tujuan Bersama yakni kemerdekaan Indonesia tetapi setelah kemerdekaan sudah direbut isu nasionalisme semakin hilang dan masyarakat kembali seperti karakter semula, pada hakikatnya isu nasioanalisme hanya mampu menutupi kenyataan plular society secara temporal
Indonesia sebagai masyarakat majemuk yang berbeda-beda tetapi tidak membaur dalam satu kesatuan dapat menyebabkan semakin tinggi kemungkinan benturan antar identitas salah satunya seperti kasus yang terjadi pada masa Pilkada DKI Jakarta 2017 yang menjadi ajang politik identitas hingga terjadinya populisme yang tak bisa terhindarkan.
Kasus ini berawal dari pernyataan kontroversial Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di kepulauan seribu yang mana dia menganggap bahwasanya Al-maidah 51 sebagai alat untuk membohongi umat yang mana ayat ini juga di gunakan oleh lawan politiknya sebagai dalil dalam berkampanye agar tidak memilih Ahok karena bukan orang islam
Video pernyataan Ahok di kepulauan seribu tersebar dan penyebabkan banyak kontroversi di tengah-tengah masyarakat.banyak kritikan dilontarkan kepada gubernur Jakarta padaa saat itu ,tak sedikit pula yang menganggap bahwa pernyataan tersebut merupakan bentuk dari penistaan agama.
Menanggapi masalah ini kemudian Ahok menyampaiakan permintaan maafnya, menurutnya pernyataan tersebut bukan bermaksut menistakan agama melainkan bentuk kritikan bagi pihak-pihak yang menggunakan Al-quran sebagai alat politik.namun permintaan maaf tersebut tidak dianggap cukup, Ahok dilaporkan ke polisi oleh Habib Novel Chaidir Hasan pada tanggal 7 Oktober 2016
Pernyataan yang tersebar luas di media sosial tersebut menuai banyak protes sehingga banyak dari elemen kelompok islam yang kemudian mengkoordinir aksi damai untuk menuntut agar proses hukum Ahok atas dugaan penistaan agama segera dijalankan, yang kemudian aksi damai tersebut terjadi pada 4 November 2016.
Menariknya demo yang awalnya dipicu oleh factor agama kemudian berkembang menjadi politik identitas, aksi masa ini mendeklarasikan kepada masyarakat khususnya bagi pemilih muslim untuk tidak memilih Ahok pada Pilkada Jakarta 2017 karena bukan seorang muslim dan dia berasal dari keturunan cina (subordinal), terjadinya aksi masa yang massif menjelang pemilu menyebabkan Ahok sebagai kandidat gubernur pertahanan kalah dalam Pilkada 2017 sedangkan Anis baswedan sebagai kandidat muslim (dominan) berhasil memenangkan pemilu dengan di dukung oleh partai partai sayap kanan dan gaya kampanye religiusnya yang menarik perhatian masyarakat terutama pemilih muslim terlebih dengan memanfaatkan adanya sentiment identidas pada saat itu.
Demo 4 novermber yang awalnya berjalan damai berakhir ricuh diduga salah satu faktornya adalah Presiden RI Joko Widodo dan Wakil presiden RI Jussuf kalla yang sebelumnya mengkonfirmasi akan berada diistana Ketika demo terjadi dan berkantor seperti biasa (Jokowi di Istana merdeka ,Jusuf kalla di Istana wakil presiden) nyatanya meninggalkan istana karena ada kunjungan kerja, hal ini menyebabkan ketidakpuasan bagi para pendemo sehingga menyebabkan demo susulan yang terjadi pada 2 Desember 2016.