Lihat ke Halaman Asli

Daniya

A Try to be Creative Human Being

Seaspiracy (2021), Dokumenter Kontroversial Industri Penangkapan Ikan

Diperbarui: 6 April 2021   19:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: Netflix

Dokumenter keluaran Netflix ini merupakan karya pasangan suami istri Ali Tabrizi dan Lucy Tabrizi, serta Kip Andersen. Bagi penggemar film dokumenter, nama Kip Andersen mungkin sudah tidak asing lagi. 

Andersen merupakan sosok dibalik film Cowspiracy (2014) dan What the Health (2017). Kedua film tersebut juga merupakan film dokumenter yang tidak kalah kontroversialnya karena menyoroti sisi gelap industri peternakan sapi dan industri makanan serta kesehatan.

Pada awalnya saya mengira bahwa film ini akan memusatkan pembahasannya pada masalah kerusakan laut yang sering kita dengar. Dugaan saya mengenai hal tersebut tidak sepenuhnya salah.

Seaspiracy memang turut membahas isu-isu yang sudah tidak asing lagi seperti polusi sampah plastik di laut, perburuan masif terhadap jenis ikan eksotis, serta kerusakan terumbu karang. Namun ternyata yang dijadikan persoalan utama pada film ini adalah tentang pengaruh penangkapan ikan komersial dan konsumsi makanan laut terhadap hancurnya ekosistem laut.

Film diawali dengan cerita personal dari Ali Tabrizi yang sejak kecil memiliki ketertarikan pada dunia kelautan. Tabrizi membahas kepeduliannya soal dampak sampah plastik kepada kehidupan biota laut, tentang bagaimana sampah-sampah tersebut terurai menjadi mikroplastik dan diserap oleh ikan-ikan di laut. 

Dengan semangat untuk menyebarkan kesadaran akan kritisnya kondisi laut bumi, Ali Tabrizi dengan istrinya memutuskan untuk memulai perjalanan investigasi ke Taiji, Jepang. Daerah itu terkenal atas maraknya penangkapan lumba-lumba. Semua lumba-lumba itu ditangkap dengan tujuan untuk dijual pada taman hiburan satwa laut.

Dimulai dari perjalanan ke Jepang tersebut sedikit demi sedikit kebobrokan industri penangkapan ikan komersial mulai dikuak. Lumba-lumba yang ditangkap bukan sekedar untuk dijual tapi justru mayoritas dibunuh karena dianggap sebagai hama bagi para nelayan ikan. Lumba-lumba dilihat sebagai pesaing nelayan dalam mendapatkan ikan jenis pacific bluefin tuna yang berharga fantastis. Selain dari lumba-lumba, juga ada ikan hiu yang diburu demi siripnya.

Sirip hiu kemudian diolah menjadi sop dan dikonsumsi sebagai makanan orang-orang kaya karena harganya yang mahal. Seolah perburuan ikan sendiri tidak cukup buruk, Seaspiracy turut menunjukan betapa besar andil industri penangkapan ikan pada jumlah sampah plastik yang ada di laut. Tidak seperti dugaan kita, dimana sampah di laut didominasi oleh botol atau kantong plastik, ternyata mayoritas atau 46% dari sampah plastik di laut merupakan jaring bekas penangkapan ikan.

Mirip dengan film Cowspiracy ataupun What the Health, film ini juga melakukan penyelidikan dan wawancara ke beberapa lembaga atau institusi yang bertanggung jawab serta berperan aktif dalam gerakan perlindungan ekosistem laut, yaitu Earth Island, MSC, dan OCEANA. Dari pengusutan yang dilakukan, banyak fakta-fakta mencengangkan sebagai hasilnya. 

Dari mulai lemahnya penerapan regulasi yang ada, hingga tidak terpercayanya klaim-klaim yang dikeluarkan organisasi-organisasi tersebut. Bahkan juga ada yang menolak untuk diwawancarai atau malahan kebingungan menjawab pertanyaan Ali Tabrizi saat wawancara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline