Menjelang kematiannya, lelaki bertubuh ceking itu bertingkah aneh. Dalam keadaan sakit ia meminta ijin pada istrinya untuk sering-sering berhubungan badan. Padahal dokter sudah mewanti-wanti agar tidak terlalu banyak bergerak. Tubuhnya terlalu lemah untuk beraktivitas. Jika prediksi dokter tidak meleset hidupnya tidak akan lama lagi. Hanya hitungan minggu.
Tapi ia memaksa.
Ia ngotot ingin melakukan itu setiap hari. Sang istri bukannya menolak. Ia juga ada keinginan untuk melakukannya. Namun, rasa cintanya pada suami mendorongnya untuk menolak. Dokter sudah memprediksi sisa umurnya yang tak lagi lama, dan ia masih belum siap berpisah dengan lelaki yang sudah 20 tahun lebih mendampingi hidupnya. Itulah alasan mendasar penolakannya.
Tak ada yang tahu pasti kenapa dia bertingkah sedemikian ganjil.
Selama hidup, menurut penuturan sang istri, ia jarang sekali mengajak istrinya melakukan "tepuk tangan". Malah lebih sering istrinya yang merayu-rayu. Makanya dua puluh tahun menikah, keduanya cuma dikaruniai satu anak. Sangat berbeda dengan keluarga lain yang jumlah anaknya seperti kontingen Sea Games.
Selain taat beribadah, lelaki yang sudah setahun lebih menderita penyakit misterius itu juga sosok yang pendiam. Jarang bicara. Kalau bicara hanya seperlunya saja. Padahal, tingkat ke-perlu-an orang tentu berbeda-beda. Waktunya lebih banyak dihabiskan di tiga wilayah: rumah, tempat ibadah, dan lading tempatnya bekerja. Ketekunannya beribadah tak pernah surut meskipun fisiknya pelan-pelan digerogoti oleh penyakit yang tak satu jin botol pun tahu obatnya. Semua serba tiba-tiba.
Tiba-tiba pusing.
Tiba-tiba muntah-muntah.
Tiba-tiba tak punya tenaga.
Tiba-tiba tak punya hasrat untuk "tepuk tangan"
Tiba-tiba semuanya terjadi secara tiba-tiba.