Ketika lulus kuliah, tetangga yang bekerja di pemkab memberi informasi lowongan kerja untuk posisi analis peraturan daerah. Kebetulan, kualifikasi pendidikan saya sesuai.
Saat itu, pemkab membutuhkan dua orang. Satu laki-laki dan satu perempuan. Tetangga saya berujar, "maaf gak bisa bantu banyak, cuma bisa kasih info." Saya tahu maksud kalimat itu.
Intinya, saya belum tentu diterima. Tentu saya ucapkan terima kasih karena sudah diberikan informasi yang mahal.
Singkat cerita, saya datang ke pemkab membawa surat lamaran lengkap. Setibanya di sana, banyak yang heran, mengapa saya bisa mengetahui loker ini.
Saya menjawab jika saya mendapat informasi dari tetangga yang kerja di sini. Pegawai di sana mengatakan saya akan diwawancara oleh calon atasan. Hanya saja, calon atasan saya tidak hadir.
Saya disuruh pulang dan akan dikabari paling lama dua minggu. Dua minggu berlalu, kabar tidak ada. Saya akhirnya ikhlas dan memang posisi yang saya incar sudah diisi.
Menurut tetangga saya, posisi analis itu diisi oleh perempuan dua-duanya. Padahal di pengumuman jelas dibutuhkan satu laki-laki dan satu perempuan.
Lebih jauh, tetangga saya mengatakan jika salah satu di antara mereka merupakan kerabat dari pegawai pemkab tersebut. Jadi, saya yang tidak memiliki kerabat tersisih.
Pejabat titip kolega
Kisah di atas murni terjadi pada saya tahun 2021 lalu. Ungkapan "si orang dalam" memang benar adanya. Bahkan sudah menjadi rahasia umum.
Budaya orang dalam tentu melestarikan praktik nepotisme dan mengkerdilkan meritokrasi. Seseorang mengisi posisi strategis bukan karena kemampuan, tapi karena kedekatan.