Ketika berangkat kerja, saya melihat satu baliho cukup besar. Di sana terpampang calon DPRD Kabupaten Bandung. Yang jelas, caleg adalah sosok anak muda.
Di dalam baliho, tertulis nama calon dan yang unik di belakang namanya tertulis kata "bin" diteruskan nama sang ayah. Tidak ada gelar akademik apa pun. Di belakang nama hanya tertulis nama sang ayah.
Si ayah tak lain adalah seorang kepala desa yang cukup terkenal di desa saya dan tetangga. Track record sang ayah sebagai kades dan kepemimpinannya memang cukup terkenal entah itu karena prestasi atau sensasi.
Yang jelas, jika tidak menyelipkan nama ayah di belakang namanya, saya tidak tahu siapa calon tersebut sebenarnya. Dia memakai nama bapaknya agar jauh lebih dikenal masyarakat secara umum macam saya.
Agak jauh dari rumah saya, di desa sebelah terpampang baliho besar. Kali ini sang calon adalah perempuan. Sama seperti baliho pertama, ia tidak memiliki gelar akademik apa pun, di belakang namanya hanya tertulis "istri kepala desa."
Saya sendiri tidak tahu sosok kepala desa itu karena cukup jauh tapi masih satu kecamatan dan satu dapil. Tapi, desa tersebut cukup terkenal karena anak-anak di desa saya banyak yang sekolah di sana.
Dari dua baliho tersebut dapat kita simpulkan jika pamor seorang bapak atau suami dijadikan senjata untuk mengerek popularitas, setidaknya di ranah desa.
Jujur, saya tidak tahu keduanya apakah pernah menjadi kader partai atau tidak. Yang jelas, kedua calon di atas sama-sama memanfaatkan kekuasaan kecil yang ada di belakangnya untuk mentas di pemilu 2024.
Popularitas sebagai anak kades atau istri kades menjadi modal cukup penting dan mungkin itulah alasan partai mengusung keduanya.
Nepotisme atau dinasti politik?
Di kancah nasional, hal serupa terjadi untuk beberapa dapil atau partai. Tentu jika kita telisik lebih lanjut hal itu erat dengan nepotisme dan dinasti politik.