Berbicara soal pengobatan tradisional, saya pernah memiliki pengalaman. Saat SMP, saya pernah sakit kuning. Alih-alih dibawa ke rumah sakit, keluarga justru membawa saya ke pengobatan tradisional.
Alasan keluarga membawa ke sana karena katanya sudah turun temurun sang dukun berhasil menyembuhkan penyakit kuning. Ketika diperiksa, saya hanya diberi saran agar tidak mengonsumsi beberapa makanan.
Saya pun diminta untuk banyak istirahat. Tak lupa, si ibu memberi beberapa daun sirih yang diikat dan telah diberi doa. Ketika mandi, saya harus mencampurkan daun sirih tersebut dengan air yang dipakai untuk mandi.
Tapi, ajaibnya perlahan-lahan mata dan kuku saya yang kekuningan mulai normal kembali. Mata yang awalnya berwarna kekuningan mulai putih lagi, dan air urine pun menjadi bening. Saya pun sembuh.
Hingga kini, saya tidak pernah lagi sakit kuning. Terlepas dari cara penyembuhan, saya bersyukur bisa sembuh hingga kini.
Praktik pengobatan tradisional memang masih digemari di Indonesia. Tentu kita masih ingat dengan ponari si bocah ajaib.
Hanya dengan bermodalkan batu yang dicelupkan ke air, orang berbondong-bondong datang hanya untuk mencari kesembuhan. Batu tersebut dinilai sebagai batu ajaib.
Ponari pun mendapat keuntungan yang besar. Tapi, yang luput dari kita adalah banyak pasien ponari yang meninggal. Entah itu karena tidak ditangani dengan tepat atau karena tidak ada dampak sama sekali.
Selain itu, saya juga memiliki pengalaman dengan ahli tulang di daerah Citapen, Bandung Barat. Ketika itu, saudara saya yang berusia sepuluh tahun menjadi korban kecelakaan lalu lintas.
Akibatnya, paha kanannya patah. Dilihat dari hasil rontgen, terlihat tulang sudah tidak tersambung. Salah satu saudara menyarankan agar berobat ke Citapen di daerah Bandung Barat.