Salah satu ciri negara demokrasi adalah adanya pemilu. Pemilu adalah sarana memilih pemimpin, baik itu untuk ranah eksekutif maupun legislatif.
Pemilu merupakan salah satu cara untuk mengganti kekuasaan secara sah. Hal itu karena pemilu dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu. Untuk itu, setiap pemilu maka akan muncul kekusaan baru.
Pemilu adalah sarana untuk melaksanakan kedaulatan rakyat. Di mana untuk melaksanakan kedaulatan rakyat tersebut rakyat sendiri yang harus memilih calon pemimpin baik itu di legislatif atau eksekutif. Itulah esensi kedaulatan rakyat dalam pemilu.
Pemilu juga menjadi sarana pelaksanaan HAM dari sisi politik. Hak ini tentu mencakup hak untuk dipilih dan dipilih.
Dalam sejarahnya, Indonesia pertama kali menyelenggarakan pemilu tahun 1955. Pemilu tersebut dianggap sebagai pemilu paling demokratis dalam sejarah.
Hingga saat ini Indonesia sudah 11 kali menyelenggarakan pemilu. Dan pada tahun 2024 nanti akan menjadi yang ke-12. Meski begitu, ingar bingar pemilu 2024 sudah terasa.
Terutama untuk pemilu legislatif. Drama sendiri sebenarnya dimulai sejak ketentuan ambang batas presiden 20 persen tidak diubah. Begitu juga dengan ambang batas parlemen sebesar 4 persen.
Setelah perdebatan itu dianggap selesai, kemudian muncul perdebatan baru soal sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup. Di tengah pembicaraan itu, muncul jalan tengah yakni sistem distrik.
Mengenal sistem distrik
Sistem distrik umumnya dikenal sebagai sistem mayoritas. Hal itu karena dalam menentukan wakil rakyat di pemerintah ditentukan melalui suara terbanyak atau mayoritas.
Sistem distrik ini lazimnya dipakai di negara yang menganut sistem dwi partai seperti Amerika Serikat. Jika dalam sistem proporsional jumlah parlemen dibagikan berdasarkan jumlah suara partai, sistem distrik tidak demikian.