Lagu Guru Oemar Bakrie milik Iwan Fals rasanya masih relevan hingga saat ini. Di dalam lagu itu disebutkan suka duka jadi seorang guru.
Padahal di tangan guru lahir orang seperti Habibie termasuk para perumus kebijakan di parlemen sana. Tapi gaji bapak Oemar Bakrie seperti dikebiri.
Jika melihat masa kini, tentu tidak ada perubahan sama sekali. Nasib seorang guru honorer tidak jauh berbeda dengan yang ada di lagu Iwan Fals itu.
Jika guru diibaratkan seorang buruh, maka guru honorer adalah buruh kontrak. Pekerja kontrak atau dalam dunia kerja disebut PKWT hanya untuk beberapa sektor saja.
Jika pekerjaan tersebut selesai, maka selesai juga masa kerja buruh kontrak. Lain lagi dengan buruh tetap, ia akan mendapatkan jaminan lebih daripada buruh kontrak.
Idealnya di dalam regulasi menyebut jika seorang buruh sudah bekerja lebih dari dua tahun maka ia harus menjadi pegawai tetap. Lalu bagaimana dengan guru honorer?
Jelas tidak demikian. Masa kerja guru honorer jauh lebih lama. Ada yang sampai meninggal ia tetap menjadi seorang guru honorer. Itulah yang terjadi pada Alm. Pak Mochtar, guru Bahasa Indonesia saya saat SMA dulu.
Akan tetapi, masa kerja guru honorer yang mengabdi selama puluhan tahun tak kunjung mendapatkan kepastian. Untuk mendapatkan gaji tetap saja harus bersaing dengan guru lain.
Apalagi setelah kebijakan PNS dihapus dan digantikan oleh PPPK, maka nasib guru honorer semakin tak menentu.
Carut marut PPPK
Setiap tahun, janji manis selalu diumbar oleh pemerintah yakni mengangkat satu juta guru honorer menjadi PPPK. Tapi, janji hanya janji, mereka kini kena ghosting dari pemerintah.