Sekira semester 5 lalu, saya mendapat tugas dari kampus untuk mempelajari jalannya persidangan di pengadilan. Jadi, hampir setiap hari saya dan teman-teman pergi ke pengadilan di Bandung.
Entah itu pengadilan negeri, PTUN, hingga pengadilan agama yang berada di Jalan Terusan Jakarta. Tapi, berkunjung ke pengadilan agama memang istimewa.
Hal itu karena pengadilan agama sifanya privat. Jadi tidak semua orang bisa masuk menyaksikan persidangan. Beda dengan pengadilan negeri yang menyidangkan perkara pidana yang sifatnya terbuka untuk umum.
Pengadilan agama sangat tertutup karena kebanyakan kasus yang disidangkan tentang masalah rumah tangga yang pelik.
Bermodal surat sakti dari pihak fakultas, hakim dan peserta sidang mengizinkan saya memerhatikan sidang.
Dalam perkara ini, hakim memimpin perkara perceraian. Alasan istri menggugat suami pun dibeberkan. Alasan tersebut begitu sensitif dan tidak pantas didengar oleh publik. Itu sifatnya sidang perceraian selalu tertutup karena membuka aib.
Namun, persidangan akhirnya sampai pada pembagian harta gono-gini. Si suami kekeh bahwa harta yang dikumpulkan selama membentuk rumah tangga adalah miliknya sendiri.
Si suami beralasan jika si istri tidak bekerja dan hanya mengurus rumah tangga saja. Akan tetapi, si istri juga tidak mau kalah. Menurutnya dalam harta perkawinan itu ada hak dia, terutama sebelum membentuk rumah tangga.
Jadi, mana yang benar? Apakah pihak suami atau istri? Saya tidak akan mengulas hasil sidang tersebut. Namun, kasus di atas hanya akan menjadi pengantar dalam artikel ini betapa pentingnya perjanjian perkawinan.
Perjanjian perkawinan
Menikah atau undang-undang menyebut dengan kata "perkawinan" adalah salah satu dari hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28B ayat 1 UUD 1945.