Selama aktif menulis di Kompasiana sejak Februari lalu, saya tidak pernah mendapat notifikasi apapun terkait dengan artikel yang saya anggit di blog bersama ini.
Mungkin saja artikel saya receh dan tidak menimbulkan akibat apapun. Beberapa waktu lalu, penulis-penulis politik kerap protes pada admin karena artikel yang mereka anggit sering dikandangin lebih dulu sebelum tayang.
Alasannya artikel tersebut dinilai bisa membuat kegaduhan dan bisa berakibat buruk pada interaksi di blog bersama ini. Mungkin saja admin ingin agar rumahnya tetap kondusif, jauh dari kebisingan.
Agar situadi kondusif tersebut terjaga, maka artikel yang lolos dari karantina tidak muncul di beranda. Bahkan, ketika kita klik kolom pilihan editor, artikel yang telah dikarantina tidak akan muncul meski mendapat label pilihan.
Lebih nahas lagi, jika akun penulis masih centang hijau, maka label pilihan bisa saja tidak ada. Artinya admin menilai itu sebagai artikel yang tidak layak.
Tujuan dari itu jelas agar artikel yang telah dikarantina tadi tidak banyak dibaca dan sulit ditemukan oleh kompasianer lain. Jadi, keamanan alias kondusifitas di rumah ini berjalan dengan baik.
Begitulah cara tuan rumah untuk menjaga keamanan dan kenyamanan untuk para penghuninya. Dua artikel saya pernah dikarantina oleh admin, artikel pertama membahas soal insiden bunuh diri NW.
Artikel kedua yang baru saya unggah kemarin terkait vonis Rachel Venya. Saya unggah artikel itu sebelum maghrib, kira-kira pukul setengah 6. Tapi sekitar jam 8 lebih artikel itu baru terbit setelah menjalani karantina dari admin.
Alasannya isi artikel saya bisa memicu kegaduhan di rumah ini. Padahal, saya hanya menganalisa vonis Rachel dari sisi ilmu hukum yang saya pelajari. Saya hanya ingin meluruskan terkait hal yang beredar selama ini.
Sebelum menulis artikel itu, saya terlebih dulu membuka buku hukum pidana karangan Siantuiri dan KUHP agar artikel saya lebih bernas. Dengan modal riset kecil-kecilan itu, saya rasa artikel sudah aman.