Jika di perguruan tinggi ada jurusan orang dalam, pasti orang berbondong-bondong mendaftar.
Tulisan ini bersumber dari pengalaman penulis...
Suatu pagi, datang seorang kawan yang bekerja di pemda. Ia memberi informasi jika di pemda membuka lowongan kerja untuk posisi hukum. Tugasnya adalah menganalisa peraturan daerah.
Di dalam brosur itu, dibutuhkan dua orang untuk mengisi posisi tersebut. Satu laki-laki dan satu perempuan. Syaratnya ialah bergelar sarjana hukum dengan jurusan Hukum Tata Negara.
Dengan riang, akhirnya saya menuju ke pemda karena memenuhi syarat tersebut. Setibanya di pemda, saya adalah orang pertama yang melamar dan kebetulan orang yang akan mewawancarai saya tak hadir.
Jadilah saya hanya menyimpan surat lamaran, fc ijazah, cv, dan nomor kontak. Petugas di sana kemudian berkata akan menghubungi saya jika atasannya tiba.
Satu minggu menunggu tak ada kabar, dua minggu tak ada juga, akhirnya saya hanya ikhlas. Tak lama setelah itu, kawan saya datang dan bercerita jika posisi yang saya lamar sudah diisi oleh orang lain.
Dua-duanya diisi perempuan, meskipun keduanya bergelar sarjana hukum, namun keduanya tidak mengambil konsentrasi Hukum Tata Negara. Begitu kata teman saya, saya hanya bisa menduga mereka mengambil program kekhususan pidana atau perdata.
Dari situlah saya tidak berharap apapun lagi. Ujar teman saya, mereka bisa masuk karena ada peran seseorang. Katanya sih orangnya berpengaruh di pemda.
Itu adalah gambaran kecil bagaimana praktik nepotisme masih meraja lela di negara ini. Bahkan di instansi pemerintah. Bukannya iri, menohok sekali, pasalnya sudah jelas yang dibutuhkan adalah satu pria dan satu wanita, tapi yang diterima keduanya wanita.