Menteri Sosial Tri Rismaharini mendapat kritik keras ketika memaksa penyandang tunarugu untuk bicara di depan publik. Momen itu bertepatan dengan Hari Disabilitas Internasional 2021.
Risma memaksa penyandang tunarungu untuk bicara tanpa memakai alat. Risma beralasan ingin mengajarkan bahwa tanpa alat bantu pun ia bisa bicara. Risma berdalih agar mereka bisa memaksimalkan pemberian Tuhan.
Tentu saja kejadian itu tidak elok, saya hanya bisa menduga, tidak ada maksud dari Ibu Risma untuk merendahkan, tapi cara yang ia gunakan sama sekali tidak tepat. Memang pada dasarnya, semua orang diberi panca indera oleh Tuhan.
Tapi, tidak semua orang bisa memakai pemberian itu karena suatu hal. Jadi, bukan berarti tidak memaksimalkan anugerah Tuhan, toh karena katakanlah ada gangguan sejak lahir sehingga tak berfungsi.
Berbicara soal disabilitas, saya berteman dengan salah satu penyandang tunarungu dan berteman akrab.
Menurut keluarga, ia memang lahir dengan kondisi kurang beruntung, selain itu kondisi ekonomi yang sulit membuatnya tidak mampu membeli alar bantu.
Sehingga, ketika tumbuh dewasa teman saya kesulitan berbicara. Tapi, ia bisa membaca dan menulis. Ia pun sempat sekolah meski hanya tamat jenjang SMP.
Meskipun begitu, ia merupakan pekerja keras. Dia menghidupi kebutuhan sehari-hari menjadi pekerja di pabrik makanan. Jadi, meskipun memiliki kekurangan, ia memiliki semangat juang yang tinggi.
Teman saya yang bernama Wanda itu sama seperti anak milenial lain. Ia main sosmed, mempunyai hobi futsal bahkan menjalin kasih dengan gadis yang ia dambakan, meskipun berakhir tragis.
Kisah cintanya yang kelabu tersebut kerap menjadi bahan candaan renyah saat berkumpul. Ketika berkumpul, saya selalu membuka pembicaraan dengan Wanda hanya dengan bahasa isyarat.