Terlebih dahulu saya ingin menjelaskan mengapa menggunakan istilah perkawinan dibanding pernikahan. Alasannya sederhana, perkawinan merupakan bahasa yang dipakai dalam undang-undang.
Konstitusi kita yaitu Undang-Undang Dasar 1945 menggunakan istilah perkawinan. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 28B. Undang-undang turunannya juga menggunakan istilah serupa, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Jadi perkawinan sendiri merupakan bahasa yang digunakan dalam undang-undang. Pun begitu dalam dunia hukum, istilah perkawinan lebih sering digunakan daripada pernikahan.
Perkawinan sejatinya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang prinsipil. Konstitusi kita melindungi hak yang satu ini. Perihal kapan hak itu dipakai itu sepenuhnya diserahkan pada masing-masing individu.
Di dalam hukum perdata, perkawinan merupakan salah satu bentuk dari perikatan atau perjanjian. Perjanjian sejatinya dibuat minimal oleh dua orang.
Agar perjanjian tersebut dianggap sah secara hukum, maka harus memenuhi beberapa persyaratan. Salah satunya cakap. Cakap adalah orang-orang yang mampu melakukan perbuatan hukum.
Seseorang dianggap tidak cakap apabila belum dewasa, berada di bawah pengampuan, misalnya orang dewasa yang gila, dan orang yang dilarang oleh undang-undang, misalnya mereka yang dinyatakan pailit.
Anak-anak masuk ke dalam kategori tidak cakap. Itu sebabnya dalam syarat perkawinan ada pembatasan umur yang harus dipenuhi guna memenuhi unsur cakap tadi.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 membatasi umur untuk bisa menikah. Laki-laki sendiri minimal harus berusia 19 tahun, sedangkan untuk perempuan minimal 16 tahun.
Tujuan dari pembatasan umur tersebut jelas untuk mencegah praktik perkawinan anak di bawah umur, praktik tersebut masih marak terjadi di masyarakat.
Oleh karena usia 16 tahun bagi wanita masih dianggap terlalu dini, maka Mahkamah Konstitusi melalui putusannya menaikkan usia menikah untuk perempuan menjadi 19 tahun.