Presiden Joko Widodo dengan tegas mengatakan bahwa muara dari budaya saling lapor yang ada saat ini adalah keberadaan pasal-pasal karet yang ada dalam Undang-Undang ITE. Untuk itu Presiden sendiri memerintahkan agar undang-undang tersebut direvisi demi meningkatkan indeks demokrasi yang menurun.
Sayangnya perintah tersebut ditangkap berbeda-beda oleh pembantunya, ada yang mengusulkan membuat pedoman tentang tafsir resmi pasal-pasal karet UU ITE, ada yang membuat tim kajian khusus terkait pasal karet UU ITE, ada juga yang mengeluarkan Surat Edaran terkait penanganan kasus UU ITE.
Nyatanya UU ITE tidak masuk dalam prolegnas prioritas tahunan kali ini, wacana revisi seakan-akan hanya perkataan manis semata, akibatnya korban dari pasal-pasal karet tersebut terus bertambah hingga kini, jika muaranya tidak diperbaiki, maka korban akan terus berjatuhan.
Beberapa waktu lalu warganet yang mengkritik Gibran ditangkap oleh polisi virtual yang cuma karena frasa "dikasih jabatan" berujung penangkapan. Alibinya adalah Gibran tidak dikasih jabatan, tapi menang pilkada. Lah menang pilkada juga kan dikasih suara dari pemilihnya, artinya ya dikasih jabatan juga dong, dikasih jabatan lewat mekanisme pilkada lewat perantara rakyat.
Penulis sendiri sudah bosan untuk membahas pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE ini, beberapa kali penulis menyebutkan bahwa pasal ini murni delik aduan, artinya orang yang dicemarkan nama baiknya harus mengadu sendiri, pencemaran nama baik atau penghinaan sekali lagi itu subjektif korban.
Korban lah yang menilai apakah itu sebagi penghinaan atau pencemaran nama baik, bukan aparat. Jika tafsir pencemaran nama baik tidak dikembalikan pada korban, dan delik tersebut berubah menjadi delik umum, maka yang terjadi adalah pemberangusan kebebasan berekspresi.
Teranyar ada seorang konsumen klinik kecantikan bernama Stella Monica ditetapkan sebagai tersangka, kronologinya sang konsumen merasa tidak puas dengan layanan klinik tersebut, kemudian dia mengunggah tangkapan percakapan dengan sang dokter ke instastory miliknya. Unggahan tersebut berisi curahan hati Stella yang merasa tidak puas dengan layanan klinik tersebut.
Tetapi sang dokter tidak terima, kemudian Stella dilaporkan ke Kepolisian Daerah Jawa Timur. Pihak klinik kemudian meminta korban untuk meminta maaf secara terbuka dan diterbitkan melalui koran, permintaan tersebut tentunya memberatkan korban karena biaya penerbitan tersebut mahal.
Upaya negosiasi yang dilakukan oleh korban tidak membuahkan hasil dan berujung penetapan tersangka oleh kepolisian pada 7 Oktober 2020. Perkara ini jelas melibatkan antara konsumen dan pemberi jasa, itu artinya perkara ini menurut saya mengarah ke perdata. Di sini kita juga harus melihat hak konsumen, bukankah konsumen mempunyai perlindungan hukum tersendiri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Padahal salah satu hak konsumen adalah mendapatkan barang/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Alasan konsumen datang ke klinik tersebut adalah adanya jaminan dari klinik bahwa konsumen akan mendapatkan hasil maksimal dari pelayanan klinik tersebut.