Dalam kesunyian malam, kala masyarakat hendak beristirahat dari segala aktivitas, di belahan bumi lain yaitu parlemen Pemerintah dan DPR mempunyai misi khusus.
Misi ini dimaksudkan untuk mempermulus setumpukan aturan yang disinyalir bisa mendatangkan investor dan membuka lapangan kerja baru lewat RUU Cipta Kerja. Pembicaraan tingkat I telah usai dibahas kemudian melangkah pada tingkat pembicaraan tingkat II yang tengah kita saksikan pada hari ini.
Langkah yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR dinilai tergesa-gesa dan tidak menyesuaikan dengan kondisi yang sedang terjadi pada saat ini. Pemerintah malah mengurus RUU Cipta Kerja dan Pilkada dibandingkan dengan penanganan covid-19 yang kian hari masih belum menunjukan penurunan.
Sejatinya dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan harus memperhatikan berbagai aspek, yaitu aspek formil dan aspek materil.
Aspek formil adalah prosedur atau tahapan yang harus dilewati oleh DPR maupun Pemerintah dalam mengajukan sebuah RUU. Kemudian aspek materil adalah substansi dari undang-undang itu sendiri.
Permasalahannya apakah kedua aspek itu sudah dilaksanakan dengan baik atau tidak? Jika itu dilaksanakan dengan baik maka akan lahir undang-undang yang berkualitas. Jika tidak maka yang lahir adalah undang-undang yang tidak berkualitas.
Sejak pembentukan RUU Cipta Kerja ini dilaksanakan, banyak pro-kontra yang terjadi di berbagai kalangan. Ada yang menyebutkan bahwa sejatinya Omnibus Law yang termasuk di dalamnya RUU Cipta Kerja ini tidak sesuai dengan sistem hukum Indonesia.
Omnibus Law tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dari segi substansi, banyak mendapat sorotan dari berbagai pihak terutama dari kaum buruh yang dinilai pasal-pasal yang terkandung di dalam RUU Cipta kerja merugikan kaum kerah biru.
Materi Muatan yang Bemasalah
RUU Cipta kerja merupakan gabungan dari beberapa undang-undang yang kemudian dibuat dalam satu undang-undang, tujuan agar terjadi penyederhanaan.