Tiba-tiba aku ingin jadi pemulung, berprofesi sebagai pemulung. Saat orang bertanya apa pekerjaan anda, aku ingin menjawab aku seorang pemulung. Walau toh masyarakat menganggap pemulung sebagai sebuah pekerjaan yang tidak memiliki nilai gengsi dalam mencapai status sosial tertentu, ku rasa memang tepat aku memutuskan menjadi seorang pemulung.
Pemulung adalah orang yang memungut barang-barang bekas atausampahtertentu untuk prosesdaur ulang. Apakah daur-ulang tersebut akan dilakukannya sendiri atau orang lain yang melakukannya dari brang-barang yang dikumpulkan tersebut. Dalam lingkungan sosial, pekerjaan pemulung sering dianggap memiliki konotasi negatif. Karena rata-rata fenomena pemulung dapat kita lihat di kehidupan migran oleh komunitas manusia dengan kualitas sumber daya yang rendah. Dia diidentikkan dengan kemiskinan, ketidak-layakan, kebodohan, kumuh, dan kaum marginal. Pekerjaan dengan tingkat bahaya yang tinggi tanpa perlindungan kerja baik dari negara maupun masyarakat.
Namun bagiku pemulung tetaplah berkelas, karena dia segala yang terbuang (entah apa itu) memiliki nilai yang lebih tinggi dari kondisi sebelumnya. Ada sebuah proses perubahan yang dilakukan, memberi makna dari tiap yang dianggap tak bermakna. Dia menjadi sebuah pekerjaan mandiri pada sektor non-formal, sebagaimana disebutkan oleh Tadjuddin Noer Effendi dalam bukunya Sumber Daya Manusia, Peluang Kerja, dan Kemiskinan. Memiliki ciri-ciri :
- Kegiatan usaha tidak terorganisasi secara baik karena timbulnya unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal.
- Pada umumnya unit usaha tidak mempunyai izin usaha
- Pola kegiatan usaha tidak teratur baik dalam arti lokasi maupun jam kerja.
- Pada umumnya kebijaksanaan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah belum sampai ke sektor ini
- Unit usaha sudah keluar masuk dari satu sub sektor ke sub sektor lain.
- Teknologi yang digunakan masih primitive.
- Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasional juga relatif kecil
- Pendidikan yang diperlukan untuk menjalankam usaha tidak memerlukan pendidikan formal karena pendidikan yang diperlukan diperoleh dari pengalaman sambil bekerja.
- Pada umumnya unit kerja termasuk golongan “One Man Enterprise” dan kalau mengerjakan buruh berasal dari keluarga.
- Sumber dana modal pada umumnya berasal dari tabungan sendiri atau dari lembaga keuangan yang tidak resmi.
- Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsikan oleh golongan masyarakat kota/desa berpenghasilan menengah
Hanya pandangan awam yang menilai negatif profesi ini. Perkembangan masyarakat yang semakin terjebak oleh aturan normatif dengan ukuran matrealis-positivis semakin menambah ‘tumpukan-tumpukan’ sampah dari label dan justifikasi sosial seringkali tidak memahami keragaman manusia yang telah diberikan oleh Tuhan. Tapi ada yang berdalih sudah ada pemberdayaan untuk yang tidak masuk kategorisasi positif contohnya seperti miskin, bodoh, nakal, asusila, cacat, tidak normal, sakit, kotor, dll. Namun yang terjadi bukan meningkatkan ‘nilai’ dari ketegorisasi negatif tersebut, alih-alih memberdayakan malah menjadi bahan eksploitasi para pemangku kebijakan dan para pemilik modal.
Mungkin benar, setiap manusia menyukai keindahan dan kebaikan sehingga kecenderungan menghindari yang buruk dan membuangnya. Orientasi matrealis juga mengarahkan manusia untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya serta menghindari kerugian sekecil-kecilnya.
Mengerikan juga saat ku lihat banyak anak-anak nakal, miskin, bodoh ditambah tidak memiliki motivasi menjadi lebih baik terbuang, dikucilkan, akhirnya berserakan menjadi ancaman sosial. Bantuan baik pemerintah dan swasta tidak akan pernah melirik kelompok-kelompok ini, mungkin di kota-kota besar ada lembaga sosial yang sekedar ‘menampung’ saja. Mereka itu manusia juga, memiliki otak dan hati, entah seberapa besar otaknya dan seberapa kecil hatinya. Tetapi mereka tetaplah manusia yang dinamis, hanya saja ada proses belajar sosial yang salah dan lingkungan yang tidak mau menerima keberbedaannya.
Layaknya sampah, barang bekas yang terbuang, mereka dianggap tak bernilai, tak bermakna, tidak dapat diterima untuk sebuah keserasian, harmoni dan keindahan. Bahkan keberadaannya menjadi sebuah ancaman yang membawa kekumuhan, penyakit, dan membahayakan benda-benda baik di sekelilingnya. Apakah Tuhan menciptakan setiap benda tak memiliki makna, bakteri pun bisa mengurai makanan busuk, apalagi manusia geraknya pun mampu menghasilkan sesuatu.
Tak dapat dipungkiri potensi destruktif manusia (unsur thanatos = mati) akan mampu mengacaukan peradaban dan kemanusiaan manusia itu sendiri. Namun itu akan muncul bersama dengan perilaku konformitas pada kelompok yang sama, kesadaran dan motivasi diri yang lemah serta lingkungan sosial yang mengisolir.
Sampah ini perlu dipungut lalu didaur ulang agar memiliki nilai yang lebih tinggi, butuh pemulung bukan pahlawan yang menawarkan solusi dan tawaran matrealis. ‘Sampah-sampah’ ini perlu dicintai dan dimengerti nahwa mereka hanyalah melakukan kritik pada sistem tatanan sosial yang tanpa dosa memberi label yang tidak peduli sebenarnya mereka juga ingin menjadi ‘normal’ namun tak tahu mereka apa dan mau apa. Mungkin yang dia tahu hanya bertahan hidup dan menggugat dengan cara mereka.
Menjadi pemulung mungkin hanya sebuah ikhtiar kecil ikhtiar menjadi manusia. Daripada sekedar sibuk mengkritik sesuatu lebih baik lakukan apa yang bisa kita lakukan walau sedikit demi sedikit, namun dengan penuh ketekunan & kesabaran. Itu akan membuat kita semakin dekat situasi ideal yang diharapkan._ Malcom Gladwell_
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H