Di sudut lecek jalanan, seorang anak kecil duduk sambil menggenggam plastik es teh. Sedotan kuning berwarna mencolok mengalirkan air dingin dari kantung plastik ke tenggorokannya. Pakaian kebesaran yang dikenakannya kumal dan tersabet noda di sana sini. Di sampingnya teronggok sekarung sampah yang ia seret dari jalanan sunyi. Gurat wajah polos anak-anaknya terlihat lelah dan lapar. Mata kecilnya memandangi siang yang gersang dan terik, ia duduk menepi pada pinggir jembatan sepi. Mengistirahatkan tangan kecilnya dari serakan sampah-sampah.
Ia duduk menunggu, siang ini Waleh akan menghampirinya, dia berjanji untuk membawakan makan siang. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja meski hanya menjadi pemulung, tetapi sejak hari ini ia belajar hidup mandiri, ia mulai meninggalkan pekerjaan mengemisnya di perempatan sana. Bagi anak usia delapan tahun sepertinya, ia mengidolakan Waleh. Betapa tidak, pemuda berumur kepala tiga yang masih bujangan itu seperti kakak baginya, ia adalah malaikat bagi dirinya dan anak-anak jalanan yang lain.
Bang Waleh, begitu ia dan anak-anak lain biasa memanggil. Pemuda kurus dengan tatap mata sayu yang mengaku tinggal di jalan sejak remaja itu selalu mengajarinya banyak hal. Anak-anak itu tidak pernah menanyakan asal usul Waleh, yang mereka tahu Waleh adalah sosok yang menyenangkan, dan baik. Rambut jambul di kepalanya selalu membuat anak-anak polos itu menyebut dirinya anak jalanan sejati. Dan mereka ingin sepertinya.
Bekerja sebagai pemulung itu juga merupakan saran dari Waleh, ia bilang ia ingin anak-anak di jalanan itu memiliki masa depan yang berbeda. Ia tak ingin anak-anak terus hidup di jalanan sampai dewasa atau tua seperti dirinya. Dan awal dari semua itu ia mulai mengajari anak-anak hidup mandiri.
"Gimana kerjanya Je?"
Seseorang menepuk pundaknya pelan dari belakang, dan tahu-tahu Waleh sudah datang dan langsung duduk di sampingnya. Ia merogoh sebungkus nasi dari kresek hitam yang dibawa, meyodorkannya pada Je yang sudah kelaparan.
"Makasih Bang," Je menerima bungkusan itu. "Kerjanya capek," Je menjawab sambil membuka bungkus nasi dengan terburu, aroma tumis kangkung dan ikan goreng memenuhi hidung, membuat perutnya semakin lapar.
Waleh tersenyum lantas berkata, "Gapapa, pertama kali memulai apapun pasti gitu,"
"Apa yang kamu lakukan sekarang akan berguna di kehidupanmu nanti," Ia kembali berkata di antara decak nasi yang dikunyah.
Ia akan memberi pengajaran untuk Je, ia ingin anak kecil itu suatu saat nanti menjadi orang sukses.
Hidup itu harus punya prinsip Je, harus bisa berdiri sendiri, jangan selalu bergantung pada orang lain, karena tidak seterusnya orang akan peduli pada isi perut kita. Anugrah hidup diberikan untuk dijalani, bukan untuk di rutuki. Tidak ada yang salah ketika kau dilahirkan bersama kesedihan dan tangisan sementara banyak orang di luar sana yang lahir dari kenyamanan. Tuhan tidak pernah salah memilihkan takdir, ketika kau dilahirkan dengan takdir itu, artinya Tuhan memilihmu untuk belajar.