Lihat ke Halaman Asli

Apa judi perlu skill? Atau skill perlu judi? Good luck!

Diperbarui: 26 Juni 2015   20:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

”All bets on the table please” kata seorang penjaga meja Black Jack di sebuah Casino terkenal di Gold Coast, Australia, sambil di kelilingi beberapa orang yang matanya melek karena berbinar-bibar memacu jantungnya.

 

Ada pasangan muda, ada pasangan setengah baya, ada bapak-bapak tua yang merokok seperti kereta api, ada juga kami-kami yang iseng-iseng ngetes, apa hokinya baik atau tidak ya hari ini.

Kepada pemuda “A” saya katakan sambil berbisik-bisik, “Di deal tadi belum keluarAs. Udah deh, pasang biru (chip) 5 biji(@ A$1000 ). Tenang, peluang elu besar! Percaya deh.”

 

Sempat terlihat keraguan di gerak tubuh pemuda “A”, namun, mungkin ingin hanya menyenangkan saya, dan juga, yang saya lontarkan memang kenyataannya, bahwa As belum keluar. Setelah ragu, dia ikuti saran saya.

 

5 buah Chip @ A$1000 di letakkan sebagai taruhannya.

Edan! Nekat juga! Duh kalau ngak narik gimana tuh ya? Gue enak, asal ngecap! Bukan duit gue sih ya...hehehe....

Tapi, buat si pemuda “A”, kecil lah itu, sambil berusaha menjustifikasi usul gue.

Si bandar, dengan cermat mengocok dek kartu sisa dari deal sebelumnya, danmembagikannya.

Karena duduk di paling kanan, kami dapat deal kartu pertama.

Di letakkan dalam keadaan tertutup.

Ngak tahu kenapa, kok rasanya yakin banget, dan karena di selimuti adrenalin yang tinggi, suasananya menjadi sangat menegangkan. Ya, A$5000 gitu loh!

Satu putaran kartu di bagikan, dan akhirnya datang kartu ke dua.

Di bagikannya dengan keadaan di buka, supaya semua bisa melihatnya.

Jreng!

Kartu terbukanya adalah, ternyata.......As Sekop!

”Tuh kan! Apa kata gue!” dengan nada sok tahu.

”Maybe this is it man! Narik nih.! Yakin gue!”

Si pemuda “A” cuma dengan tenang mengeluarkan suara “ Heh…heh…I think my luck is when you speak Dude! Lets see”.

 

Si pemuda A yang memang tidak suka di ajak bicara kalau lagi main kartu. Dan semua teman-temannya tahu itu. Secara saya baru pertama kali diajak bareng, sebetulnya saran tadi yang terucap lebih karena tidak bisa menahan emosi sih, dan akhirnya diajak bicaralah si pemuda “A” ini.

Dengan mantap, namun hati was-was, dia mengintip kartu yang tertutup.

Jreng lagi!

10 keriting!

Dibukalah kartunya, dan dengan mantap dia katakan, ”Black Jack!”

A$ 2000 di tariknya. Dan dengan tenang dia menyusun Chipnya yang memang masih setumpuk itu. Puas.

”You spoke, your luck Dude. So now, how many chips?” kata si pemuda “A”

Gue ngacir abis itu. Emang dasar ngak bakat judi. Just pure luck. Pure Luck!. Gue tinggalin tuh meja dan bilang, gue mau ke WC aja.

____________________________________________________________________

Terusik berita hari Minggu kemarin (17 Mei 09)  di Pokok dan Tokoh Koran Kompas, Dewi Sandra siap release album baru.

Ada perbedaan besar antara Artist Management dan Record Label.

Terlalu banyak yang tidak bisa membedakan hal ini, termasuk para Managemen Artis yang menangani begitu banyak artis saat ini.

Luna Maya, Dian Sastro, Ferdi Hasan, dll dll adalah celebrities, MC, dan multi talented artists. Mereka punya managemen juga. Mungkin karena yang mereka jual adalah si orang itu, badannya, mukanya, kemampuan memandu acaranya, dan justru bukan kemampuan olah vokalnya, hampir tidak pernah terjadi ke bingungan antara managemen mereka dengan Record Label. Selain memang mereka juga memang bukan penyanyi.

 

Tapi apa jadinya kalau mereka juga bernyanyi. Luna nyanyi untuk film terbarunya. Aman-aman saja bukan? Tantowi Yahya juga MC handal dan juga nyanyi, selama ini, saya tidak pernah mendengar ada permasalahan dengan cara managemennya memange dirinya sebagai MC maupun penyanyi. Juga misalnya Indra Bekti, waktu mengisi di albumnya Dewiq.

 

Tapi kenapa saya terusik dengan article di Kompas hari ini.

 

Bagi mangemen artis, produknya adalah si artis itu sendiri. Kepribadiannya di depan umum, imagenya, penempatan kepribadiannya di mata industri dan fans, mengembangkan nilai jualnya, pengoptimalan jadualnya, menangani keuangannya, dan menyusun rencana jangka pendek, menengah dan panjang, agar artis tersebut bisa bertahan di dunia enternainment sesuai spesialisasinya.

Sebagai turunan paling penting dari posisi dan image yang di buat oleh managemennya, exploitasi dan komersialisasi daridari image tersebut adalah sumber pemasukan Artis dan Managemennya. Hasil akhirnya dapat kita lihat dari produk-produk yang memakainya sebagai bintang iklan, media memakainya sebagai pembawa acara, para EO memakainya sebagai pemandu acara, lembaga pendidikan memintanya untuk mengajarkan ilmunya kepada para pelajar, dlsb.

Bagi perusahaan rekaman, produknya adalah Album atau lagu yang di nyanyikanartis tersebut. Kata hukumnya adalah Karya Rekam. Namanya juga perusahaan rekaman.. Apapun yang perlu di lakukan untuk membuat produk tersebut laku, ada di tangan perusahaan rekaman.

Itulah esensi dari dari kontrak kerjasama antara artis penyanyi dan perusahaan rekaman. Hanya ada 1 motivasi seorang artis melakukan kontrak dengan perusahaan rekaman. Dengan ada kerjasama dengan perusahaan rekaman, peluang albumnya laku jauh lebih besar. Dan artisnya percaya akan hal itu.

Kalau artis dan managemen artisnya tidak percaya akan hal itu, biasanya managemennya akan menempuh cara pemasaran secara independen. Untuk memasarkan produknya, perusahaan melakukan kegiatan pembagian single demi single ke radio, televisi, media cetak dan elektronik, mengajukan jadual penampilan promosi di berbagai acara.

Intiya, selama album atau lagu artis itu di release, sebisa mungkin, artis dan lagunya muncul di sebanyak mungkin media, agar masyarakat secepat mungkin menjadi kenal dengan lagunya, dengan harapan pada akhirnya album atau lagunya ya di beli atau di aktifkan sebagai ornamen di Hpnya.

Kedua pekerjaan itu sangat tegas perbedaannya, bahkan kelihatan cenderung mudah. Take it from me, no it is not!.

Yang paling membuat pelaku di dunia business musik selalu sakau adalah, bahwa apapun yang kami kerjakan, peluang untuk berhasil, hanyalay 50%. Sisanya adalah Luck!. Yes. Thats the damn truth. So, kalau dengan kata lain, business ini sebetulnya business memange peluang.

 

Tugas kami hanyalah bagaimana meningkatkan peluang album atau lagu tersebut, agar dapat di terima oleh media massa, yang akhirnya mengumumkan karya lagu tersebut, sehingga masyarakat jadi tahu, jatuh cinta, dan lahirnya sebutan dan teriakan histeris “ lagu gue!!!!”. Jadi hit deh.

 

Kembali ke masalah Luck. Kalau 50 %adalah luck, apakah ini sebetulnya sebuah bentuk perjudian yang di bungkus dengan segala macam teori musik, teori managemen, teori pemasaran dan teori popularitas? Hmm…coba, think about it. Tapi yang pasti, coba Anda mengajukan kredit ke bank lokal di Indonesia, untuk memodali usaha Perusahaan Rekaman. Apa yang terjadi?

 

 

Mungkin saya akan ceritakan pengalaman per hoki-an di kesempatan lain. Tapi sesuai dengan artikel yang saya baca tadi pagi, ada sebuah perasaan yang dengan kuat muncul di hati saya.Saya ingin mengucapkan Good Luck untuk album Dewi Sandra yang akan di release. Betul-betul dengan niat tulus, Good Luck. Alias, semoga Hoki-nya baik.

Artis managemen dan perusahaan rekaman. Keduanya, apabila di satukan dalam bentuk kerjasama yang sangat erat, wah, hasilnya dahsyat. Saya kembali ke Luna Maya, Nidji, Gigi, Dewiq, dlsb. Dahsyat tuh. Tapi, sudah banyak album yang Dewi Sandra keluarkan. Saya bahkan bekerja di perusahaan rekaman Universal Music yang meengeluarkan album terakhirnya yang punya beberapa Hit sebetulnya. Bahkan sampai sekarang, lagu-lagu dari album tersebut masih sangat sering di putar di berbagai radio, karena memang lagunya enak-enak. Tapi, albumnya tidak meledak.

Mengapa saya tergelitik menulis tulisan pendek ini? Itu loh. Si Hoki itu. Either you are born with it, or you are not. All we can do is try to make the chances higher, Berusaha untuk membuat peluangnya lebih baik. Sehingga pada saat si bandar membagikan kartunya, Satu As dan Satu King jatuh ke tangan kita. Black Jack!

 

Munkin hanya sebatas memperhatikan deck kartu, dan jumlah As, King, Queen, Jack dan 10 yang keluar. Munking dengan informasi tersebut, dapat menentukan, berapa Chip yang di taruh diatas meja. Dalam kenyataannya, sebagai seorang generalis dan karena kebetulan sempat mencicipi bekerja mendirikan sebuah channel televisi, sampai mendirikan perusahaan internet sendiri denan kepercayaan dana hampir 2 juta dollar yang di tukar dengan tidak lebih dari 8 persen kepemilikan perusahaan saya itu, sampai punya feeling bahwasesuai waktu di keluarkan saat itu.

SamSonS berhasil menembus kebosanan airplay radio yang sudah muak dengan Radja, RAN mengobati muaknya pendengar terhadap Kangen Band, Kepompongya, memang lagu persahabatan yang ngak perlu melawan lagu siapa-siapa untuk tenar. Masih banyak contoh lainnya sebetulnya, tapi ngak penting.

Di Industri musik, dan sama seperti semua industri lainya, mengerti proses dari awal berkenalan denegan Band/Pencipta, melewati semua proses persiapan, pelunucuran,strategi promosi dan sampai habis masa promosi albumnya, dan yang paling penting , mengetahui persis, mana yang akan bisa dilakukan, mana yang tidak, mana yang orang suka, mana yang tidak, itulah modal yang di perlukan, yang tidak pernah di ajarkan, baik S1, S2 maupun S3. Ya feeling sih. Gimana dong.

Ungu akhirnya mendapatkan Hokinya. Semoga kali ini adalah giliran Dewi Sandra. Tapi, di hati kecil saya lagi, masih ada uneg-uneg sedikit yang ternyata masih ada. Perasaan yang muncul karena terlibat langsung di peluncuran album Dewi yang sebelumnya.

 

Pada saat artis management tidak suka dengan perusahaan rekamannya, dan perusahann rekamannya tidak suka dengan artis managemennya, lahirlah sebuah produk yang sangat baik sebetulnya. Sebuah produk, yang karena friksi kuat antara masing-masing pihak begitu kuat, akhirnya mendapatkan ‘the best of both”.

Namun, sayangnya tidak terjadi di sini. Yang ada, lahirlah sebuah produk ya cocoknya bukan untuk pencinta musik, tapi untuk akademisi. Sebuah produk yang menjadi materi pembahasan dan pendalaman untuk sekolah managemen denganjudul “Everything that you can do wrong in an album release”.

Sesuai judulnya, everything about the artist management, and everything about the record label, went wrong. Totally wrong.Album ini bukanlah satu-satunya kejadian semacam ini di dunia industri rekaman, bahkan tiap hari terjadi, dan bukan hanya di Indonesia. Tapi bahkan di tingkat internasional.

 

Ngak percaya? Sebut Pussycat Dolls dan Nicole Scherzinger yang bersolo karir. Blunder terbesar di industri rekaman. Bahkan Gwen Stefani sekalipun, yang sudah dengan sengaja di posisikan untuk menggantikan Madonna, tiba-tiba lebih memilih punya anak dan bahkan sekarang ngeband lagi bersama No Doubt-nya.

 

Ya ini business musik. Semua yang kita bisa lakukan hanyalah 50%. Dan kalau memang peluang kita hanya 50%, bukannya sebaiknya, kamu punya orang yang terbaik, agar betul-betul persiapannya mendongkrak peluangnya ke 50%. Bukan 49%. Bukan 48%. Tapi full 50%. Sisanya tinggal lihat Hoki nya aja.

 

Kalau managemen artis bisa mengerti posisi dan tugasnya, tidak melewati garis jatah perusahaan rekamannya, dan juga perusahaan rekaman juga melakukan hal yang sama, si Hoki itu akan datang. Pasti.

 

Sekembali dari WC, saya memperhatikan permainannya.

 

“Dude, what’s your feeling now?” si pemuda “A” keukeuh bertanya.

 

“Another 5 Chips, this time the red ones (@A$5000)” dengan pede gue kasih usul.

 

Kartu pertama di deal tertutup lagi oleh bandar. Lalu kartu kedua, di bagikan terbuka.

Jreng! King Hati!!!

Si Pemuda ”A” dengan gayanya yang tetap tenang, membuka kartu yang tertutup..... dia intip, dan ternyata kartunya adalah.........

 

Either you win or you loose. Nothing is grey in the music industry. Jadi kalau ada orang-orang yang memang sudah lama punya Hoki dan Feeling kuat di industri, saat di mintakan pendapat lagu demo kamu mengatakan “No! Sorry. Nggak bisa tuh” .Saran saya sih, percaya deh. Kalau ada yang di dalam industri musik berkomentar “Bagus sih” or “Lumayan” atau “Boleh juga”…segera, mundur teratur dan perbaik lagunya. Itu jatuhnya di daerah abu-abu.

 

Yang paling juara adalah, yang nggak punya jam terbang tinggi, dan tidak pernah menjalankan business musik secara 360 Derajat, terus serta merta bisa mengatakan “Wah keren nih” atau “Bagus nih, bisa laku kayaknya”. Jangan cuma mundur teratur, tapi bilang ke dia, “Sotoy elu!”

 

Yang pasti, setelah perjalanan ke Gold Coast, gue 2 kali lagi di ajak untuk jalan-jalan bareng lagi dengan si Pemuda “A”.

 

Mungkin yang contoh kedua ini bisa diparafrase aja, soalnya nanti ada contoh lagi di bawah, jadi biar tidak terlalu mendominasi tulisan, mungkin bisa langsung: Ketika ternyata saran gue manjur sekali lagi, gue langsung ngacir…(lanjut paragraf berikut)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline