Lihat ke Halaman Asli

daniel tanto

melukis dengan cahaya, menulis dengan hati...

Sains untuk Rakyat

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

[caption id="attachment_100527" align="aligncenter" width="600" caption="salah satu kandang terintegrasi di kawasan Majalengka"][/caption]

Di Sabtu siang, saya sedang tidak pergi bekerja. Saya memilih bekerja di sudut rumah saya. Mengerjakan beberapa foto dan desain, mengingat tenggat waktunya saya mendingan bersembunyi dan tidak menampakkan diri di pendopo rumah. Secara tiba-tiba saya mendengar suara mobil sejuta umat di depan rumah. Saya mengintip dari balik tirai ruang tamu. Weh, ternyata DR Wiro yang dating. Anehnya malah justru si Sastro yang sudah standby di pendopo. Sepertinya mereka berdua sudah malakukan perjanjian.

SUDAH lama sekali DR Wiro tidak pernah muncul ke rumah. Mungkin sudah ada sekitar 6 bulan. Saya kadang heran. Tetapi mengingat kesibukan beliau yang memang super padat, ada kemungkinan beliaunya sedang meriset sesuatu di ujung dunia sana.

SASTRO beberapa kali tampaknya malah mendapat email dari beliau. Jangan heran, dengan BreakBerry made in Guang Zhao-nya, Sastro berhasil menyetingnya supaya bisa mendapat email mirip Blackberry aslinya. Walaupun tidak realtime tapi tampaknya lumayan berguna buat Sastro. Terutama menunjang pergaulannya dengan teman-teman saya yang sangat gemar bertukar data. Aneh bukan? Malah tampaknya seluruh teman –teman saya jadi lebih akrab dengan dia, dan bahkan mediskusikan sesuatu, yang kadang bukan porsinya didiskusikan dengan seorang butler seperti Sastro.

Dari Facebook, Twitter, sampe pake email, begitulah kini cara Sastro bergaul dengan kawan-kawan saya, yang kini malah saya ragu, bias saja malah saya yang sekedar kenalan buat mereka. Pendek kata, justru malah si Sastro yang lebih “akrab” dengan teman-teman saya. Mungkin karena sifatnya yang memang semua dibawa enteng, jadi teman-teman saya yang berbeban pikiran berat, merasasenang ngobrol dengan dia.

Tampaknya benar dugaan saya. Mereka bersalaman dan duduk di kursi panjang pendopo. Bahkan Sastro sepertinya sudah menyiapkan kopi buat DR Wiro. “Dasar orang-orang aneh, pake pendopo saya, kursi saya, bahkan minum kopi saya, kok malah sama sekali tidak mencari saya”, begitulah pikir saya. Saya kembali duduk dan berusaha mengejar deadline pekerjaan saya. Tetapi rasa ingin tahu saya, membuat saya susah berkonsentrasi pada pekerjaan saya.

Dengan membuang gengsi, saya tutup laptop, dan bergabung dengan mereka. Wajah-wajah mereka seperti tidak berdosa. Seakan sudah berada di rumah sendiri saja. Dan malahan saya yang tamu. Dasar antik!

“Bagaimana kabar, Dok? Kok tumben mampir? Biasanya hanya pas pengen ngopi gratisan saja mampir ke sini. Ini kok sepertinya memang sengaja ke sini”.

“Hahaha… Jenengan ini, kok orang lama tidak ke sini, datang-datang langsung dismash! Lha wong saya datang khusus menemui kang Sastro ini. Bukan mencari panjenengan”.

Walah, malah tambah menyebalkan. Ternyata bener, DR Wiro memang cari Sastro.

“Wooo… Malah jadi menganggu ini kehadiran saya di sini? Apa saya tak masuk saja?”

Sastro malah dengan cengengesan omong,”Tidak apa mas, nanti jenengan bisa ikut mendengarkan kita diskusi. Ini diskusi non ilmiah koq, jadi bukan untuk kalangan khusus”.

“Ilmiah… Ilmiah.. Gayamu Tro! Mbok jangan gaya begitu. Baru diajak sekali diskusi sama DR Wiro saja sudah begaya begitu”.

DR Wiro ternyata datang untuk mendiskusikan masalah riset sains untuk rakyat. Dan dikarenakan Sastro dianggap sangat merakyat. Maka dia dijadikan salah satu responden untuk masukan bagi team riset DR Wiro. Keinginan DR Wiro adalah membawa sains mejadi lebih merakyat. Bukan hanya menjadi milik para cendekiawan saja. Melainkan hasil riset bisa menjadi hal-hal yang memang bisa langsung dinikmati oleh rakyat. Semacam teknologi tepat guna. Dimana semua bisa memahami, menerima, dan mempraktekan hasil-hasil pemikiran cendekiawan top yang berada di universitas terkemuka di Indonesia ini.

Menurut DR Wiro, ternyata banyak sekali riset-riset berdana sangat besar yang berakhir gagal, karena tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, terlalu canggih, tidak jelas tujuannya, bahkan tidak dapat diterapkan di lapangan. Alias hanya berakhir menjadi laporan riset saja. Jadi menurut DR Wiro, kalangan universitas-lah yang harus mau membumi dan mencari apa yang dibutuhkan oleh masyarakat alias rakyat. Karena toh uang yang dipakai riset kebanyakan diambil dari uang rakyat juga.

Demi itu semua kini DR Wiro memperkenalkan team riset barunya, yang dinamai Sains untuk Rakyat. Dimana seluruh tujuan dari riset memang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Bukan sekedar demi kepopoleran sebuah nama atau riset grup saja.

Saat ini team SuRak, begitu nama riset grup ini disingkat, sudah memperkenalkan diri di dunia sains dan membuat beberapa proyek biogas di kandang-kandang peternak di kawasan Jawa Barat. Menurut DR Wiro itu memang sesuai dengan kebutuhan. Kandang-kandang sapi para peternak memang menghasilkan berton-ton kotoran sapi, dan biasanya hanya dibuang di sungai sehingga mencemari lingkungan. Jika sekarang bisa diolah mejadi energi, maka hasilnya bisa langsung dinikmati oleh pemilik kandang dan juga menghentikan pembuangan limbah kotoran sapi ke sungai.

Percakapan kami semakin gayeng, dan Sastro yang notabene berpendidikan sangat jauh dibandingkan DR Wiro ternyata memang bisa membuat banyak masukan. Kearifan rakyat yang dimiliki Sastro dibalik sikapnya yang selalu membuat DR Wiro jengkel, ternyata bisa membuat perubahan besar di riset DR Wiro. Oho, ini sebabnya si Sastro jadi sering email-emailan dengan teman saya yang satu ini.

“Jadi Dok, memang benar kalau limbah kotoran dari peternakan tersebut termasuk dalam deretan tertinggi limbah polusi di dunia?”, tanya saya. Terus terang saya tercengang dengan fakta ini.

“Bener, bukan itu saja, ternyata pertanian juga punya andil besar dalam pencemaran bumi. Jadi selama ini jika yang disorot selalu saja industri. Itu bisa saja karena kita yang terlalu naif menanggapi limbah peternakan dan pertanian“.

“Tapi Dok, apa ya bener sapi-sapi tersebut memang bisa mencemari sungai? Lha wong kandang sapi sebelah itu kotorannya malah disimpen, nantinya mau dipakai rabuk tanaman”, sanggah Sastro.

“Tro, sampeyan jangan membayangan seperti kandang tetangga sebelah yang isinya dua sapi. Kapan-kapan harus saya ajak sampeyan lihat peternakan sapi yang sebenarnya. Di sana isinya bisa sampai 500 ekor sapi. Kamu bisa banyangkan Tro? Satu sapi itu, bisa membuang kotoran sampai 10kg per hari, jika ada 500 sapi, maka mencapai 5 ton sehari. Itu baru satu kandang. Kalau ada sejuta kandang di Indonesia? Apa tidak serem? Belum lagi Tro, tumpukan kotoran sapi di kandang itu juga memproduksi gas metana, yang akan terlepas ke atmosfer bumi. Dan mencemari atmosfer sehingga mempercepat pemanasan global. Padahal metana tersebut bisa dijadikan bahan bakar, sama dengan gas elpiji yang kamu pake masak itu. Metana juga bisa dipakai sebagai bahan bakar mesin. Misal generator listrik. Jadi nantinya bisa memenuhi seluruh kebutuhan energi listrik dan panas di kandang. Dan jika kapasitasnya cukup besar, bisa juga dijual ke penduduk sekitar kandang energi panas dan listriknya. Seperti yang sudah dilakukan beberapa peternak di Amerika sana”.

Sastro bengong, mungkin dia membayangkan sapi-sapi mengeluarkan kotoran dan berubah jadi aliran listrik. Saya sempat ngobrol-ngobrol sebentar dengan DR Wiro tapi karena keterbatas waktu, akhirnya beliaunya segera menstart mobil sejuta umatnya yang sangat merakyat, dan berlalu dari hadapan kami. Tidak lupa mengucapkan,”Keep in touch”, kepada si Sastro.

“Ga banyak ya mas? Orang kayak DR Wiro itu. Yang sudah sekolah tinggi banget tapi tetap bisa menghargai pendapat orang kurang berpendidikan seperti kita”, kata Sastro. Saya manggut-manggut. Saya jadi ingat teman saya yang sekolah di salah satu negara persemakmuran Inggris, pas kembali ke sini jadi sangat beda, seakan punya kelas tersendiri, saya jadi minder kalo ketemu dia, soalnya seakan saya tergolong non educated class. Tetapi anehnya, teman saya itu jika nulis status di Facebook saja bahasa Inggris nya belepotan. Lha, terus apa yang dipelajari di negeri itu kalau bahasa Inggrisnya saja belepotan begitu. Semoga makin banyak orang yang membawa apa yang dipelajarinya jauh di negri seberang untuk kesejahteraan rakyat, bukan cuma untuk cari jabatan, uang dan ketenaran saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline