Lihat ke Halaman Asli

daniel tanto

melukis dengan cahaya, menulis dengan hati...

Slebor Becak Buat Mas Inu

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_66742" align="aligncenter" width="500" caption="kuda liar (paling kiri)"][/caption] PROLOG: Sewaktu acara nangkring bareng di booth Kompasiana JEC Yogya, saya mendengar kalo mas. Inu suka memotret slebor becak. Saya juga termasuk pemerhati slebor tersebut. Sebenarnya bukan hanya slebor becak, bak truk, grafitty, mural, dan semua seni dan sastra jalanan, rasanya menarik untuk diamati, letupannya kadang lucu, kasar, tapi biasanya jujur. So reportase ini sebenarnya sudah basi, karena saya sudah kirim ke Kompas cetak, tapi tidak kunjung dijawab, maka ini saya jadikan oleh-oleh buat mas. Inu saja, yang sudah meluangkan waktu bertemu para Kompasianer, dan berbagi ilmu buat kami. Terima kasih, mas.. catatan: slebor, spatbor, fender, atau blenduk becak adalah bagian melengkung berbentuk 1/4 selimut bola yang berguna untuk melindungi ban depan becak. Terletak di sisi kanan dan kiri becak, dan biasanya dilukis sesuai ekspresi pemilik atau penarik becak. [caption id="attachment_66744" align="aligncenter" width="500" caption="si Kuda Liar dan teman-temannya"][/caption] YOGYAKARTA, 23 Januari 2010 Hari masih pagi ketika saya berhenti di lampu merah perempatan ujung jalan Nyai. Ahmad Dahlan. Saya baru saja pulang bekerja, memotret di sebuah hotel di daerah selatan kota Yogyakarta. Saya memotret pagi sekali, dan selesai sekitar jam 09.00, jadi ketika itu saya berkendara lambat-lambat melewati perempatan ini. Di lampu merah dekat area parkir Taman Sari ini saya melihat banyak sekali slebor becak, saya heran, ini dijemur atau bagaimana? Tak terasa lampu sudah hijau. [caption id="attachment_66745" align="aligncenter" width="500" caption="tampak belakang: pos polisi"][/caption] Ternyata, rasa ingin tahu saya lebih besar dari niat saya untuk tidak terlambat sampai ke kantor, saya segera memarkir kendaraan saya dan mengambil kamera saya. Biasanya jika jalan-jalan, saya hanya membawa kamera pocket, tapi karena pada waktu itu saya dalam perjalanan pulang dari memotret hotel, maka saya membawa kamera saya yang lain, sebuah kamera yang berukuran besar, dan kegunaannya memang untuk memuaskan klien. Klien saya senang jika saya mengeluarkan kamera raksasa dari tas aluminium saya. Kapan-kapan saya akan cerita lucu mengenai tas kamera saya ini. [caption id="attachment_66746" align="aligncenter" width="400" caption="berbaris seperti kereta perang"][/caption] Setengah berlari saya menuju TKP, dan ketika saya mulai memotret, Polisi mendatangi saya. Kebetulan memang slebor (bahasa kerennya fender) ini disusun di depan pos jaga polisi. Mas. Polisi ini menyapa dengan khas dan saya sudah sering sekali di"tuduh" begitu jika menggotong-gotong kamera sebesar Bagong,"Masnya wartawan?". Saya cuma tersenyum, saya malas menjawab, karena nantinya akan berkembang dengan percakapan lain. Biasanya percakpan menjadi seperti ini: "Mas, wartawan?" "Bukan saya fotografer" "Oh, tukang foto?" "Iya.." "Motret manten? (maksudnya foto wedding)" "Enggak mas, saya motret produk dan liputan" "Oh, produk apa?" "Macem-macem, resto, hotel, arsitektur, makanan, minuman, katalog, macem-macem" "Kenal banyak model mas?" Waduh! Kok ujung-ujungnya begini? Makanya hari ini saya jawab dengan senyuman saja, karena saya juga pengen cepet-cepet, pengen jangan telat-telat banget sampe kantor. Tapi Mas.Polisi tampaknya pengen info juga, soal penataan slebor becak ini. "Mas, apa ini bagian dari cara Biennale itu?" "Wah saya kurang tahu, coba tanyakan mas itu, kayaknya penduduk sini", saya menunjuk orang bercelana pendek yang nampaknya penduduk sekitar. "Saya juga tidak tahu, saya pikir sudah ijin sama jenengan?", jawab Mr. Celana Pendek kepada mas. Polisi. "Kalau saya tahu ini bukan dari bagian dari acara Biennale pasti sudah saya tanyakan soal ijinnya, soale dulu ada kepala raksasa dipasang disini, ternyata memang sudah ada ijinnya", demikian info dari mas. Polisi. [caption id="attachment_66747" align="aligncenter" width="500" caption="formasi selengkapnya"][/caption] Saya tidak terlalu ambil pusing soal ijin dan perijinan itu, tapi justru karena kedatangan saya memotret ini jadilah polemik ini. Maka demi kecepatan dan kefektifan juga menyingkat waktu, saya memotret beberapa sudut saja dan segera melambaikan tangan berpamitan dengan mas. Polisi yang masih bercakap-cakap dengan mr. Celana Pendek. Semoga ini cukup menarik, karena menurut saya slebor becak merupakan bagian dari sastro ning ratan (suara di jalanan), pantas didokumentasikan dan diapresiasi. Seperti halnya lukisan di bak truk dan mural, menurut saya slebor becak merupakan salah satu ekspresi seni juga, dan termasuk seni lukis dan tulis yang sudah ada semenjak jaman dahulu. Sudah seharusnya ada pemerhati yang mendokumentasikannya (ternyata mas. Inu termasuk salah satunya). EPILOG Sorenya, saya mencoba mengompres foto-foto hasil jeperetan saya dan cerita di atas, dan meng-emailkan ke surat kabar KOMPAS cetak, semoga dimuat, walapun saya sadar ini sangat tidak penting. Ternyata benar, sampai saat ini tak kunjung datang berita atau balasan, sampai akhirnya  saya hari ini memutuskan untuk dipajang di KOMPASIANA. Toh ini juga bagian dari KOMPAS juga..




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline