Lihat ke Halaman Asli

Daniel SetyoWibowo

Tutor kelompok belajar anak-anak

Obat Mujarab Bangsa Sakit Mental: Sastra

Diperbarui: 5 Juli 2019   11:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Dok. Pribadi

"Lu Shun itu seorang dokter kesehatan. Tapi kemudian ia meninggalkan pekerjaannya sebagai dokter karena katanya, bangsa saya bukan sakit badannya, melainkan mentalnya. Dan untuk itu sastralah obat yang dianggapnya paling mujarab. Jadilah ia sastrawan" (Achdiat K. Mihardja)

Itulah salah satu petikan tulisan Achdiat K. Mihardja dalam buku Tentang Kritik Sastra Sebuah Diskusi berjudul "Kakaren Simposium Kritik Sastra" (hal. 78-88) yang sudah dimuat dalam majalah Budaya Jaya, No 7 Th. I Desember 1968.

Mungkin benar bahwa sastra merupakan obat mujarab karena di sana terdapat roh, jiwa. Sastra bukan hanya sebatas tulisan yang kelihatannya indah dengan rangkaian bunyi, suku kata, kata, diksi, dan kalimat, tetapi lebih dari itu. Pendeknya, sastra itu penting. 

Masalahnya, bagaimana kita memahami kalau sastra itu penting ? Jawabanya, mungkin sederhana, yaitu: membaca karya sastra dan sedapat mungkin menulis kesan-kesan membaca atau bila perlu menulis sastra sendiri.

Tapi, bukankah aktivitas membaca itu ditentukan juga oleh  apakah karya sastra itu menarik atau tidak, indah atau asal-asalan ? Jawabanya "Ya". Karya sastra yang 'baik' akan dibaca dan diapresiasi. 

Yang asal-asalan meskipun dibantu iklan dan berbagai promosi serta dana yang kuat dari industri buku, atau komentar tokoh-tokoh terkenal dan mungkin banyak dibeli untuk dijadikan pajangan rak buku, tetapi tidak dibaca. Atau kalau dibaca segera dilupakan.

Bukankah sebelum sampai ke pembaca, baik-buruknya karya sastra itu juga ditentukan oleh penerbit apakah diterbitkan atau tidak ? Ya ! Tapi, bukankah sebelum menerbitkan, redaksi itu membaca terlebih dulu dan menimbang-nimbang ? Tentunya demikian. Bukankah kekuatan di luar kepentingan sastra turut menentukan sastra itu ? Mungkin.

Bukankah karya sastra yang 'baik' kadang juga tidak dibaca dan menumpuk di gudang-gudang buku (untuk tidak menggunakan istilah perpustakaan)? Kalaupun dibaca, hanya oleh sebagian kecil 'maniak' sastra ? Lalu, di mana pentingnya karya sastra itu ? Apakah bisa menjadi obat mujarab ? Siapa yang menentukan baik buruknya suatu karya sastra itu ? Pengarang ? Media massa ? Pembaca ? Lalu, apa pula perlunya karya sastra itu dinilai?

Mungkin sebagian besar jawabannya terletak pada peran pembaca. Bahkan Arief Budiman dan Goenawan Mohamad, menegaskan jika 1000 kepala yang menilai (pembaca, penulis), diharapkan 1000 penilaian. Tapi, bukankah kemampuan membaca dan menilai pembaca berbeda-beda ? Bukankah ada pembaca yang sungguh-sungguh, asal-asalan, coba-coba sampai mencobai ? Bahkan ada juga pembaca yang terlalu tajam dan menekankan detail, cari-cari kesalahan ?

Kritik Sastra

Pada titik itulah, lalu kita menjadi sadar tentang peranan kritik sastra. Buku terbitan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayan ini sangat bermanfat tentang pentingnya suatu kritik sastra dan bagaimana suatu kritik sastra dilakukan.

Yang menarik, buku ini tidak berusaha merangkum bagaimana suatu kritik sastra itu harus dilakukan. Ia merupakan hasil diskusi dari beberapa ahli tentang kritik sastra. Dan, waktunya pun sudah lama berlangsung sekali, yakni tahun 1978. Apalagi, menurut Prof. Dr. Amran Halim dalam prakatanya, sebenarnya sudah diterbitkan tahun 1970 dalam bentuk majalah stensilan Bahasa dan Kesusastraan oleh Lembaga Bahasa Nasional. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline