Lihat ke Halaman Asli

Dinasti Sukarno – Megawati Sukarnoputri

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Waktu saya kecil, ketika partai hanya tiga, ayah saya selalu berpesan, bila memilih partai pilihlah PDI. Alasannya partai ini nasionalis dan yang paling penting buat dia, Sukarno segala-galanya baginya. Ayah saya ternyata pengagum berat Sukarno, pidato-pidatonya selalu diingatnya. Salah satu yang saya ingat, "Inggris kita linggis, Amerika kita setrika!" Dan bila ayah saya duduk di warung kopi di sebuah desa di Yangbatu Denpasar dulu dengan para tetangga, maka pembicaraan tentang Bung Karno adalah hal yang tak terpisahkan. Tentu pembicaraan ini tidak terlalu lantang, apalagi masih adanya trauma PKI waktu itu. Hal itu yang masih saya ingat. Kala Sukarno telah pergi, ternyata dinastinya tidak pergi.

PDIP tidak bisa dipisahkan dari keluarga Sukarno, ini fakta yang mau tidak mau, suka atau tidak harus diterima. Tidak ada kita akan melihat drama soal penggantian Megawati. Tidak ada yang berani "menantang" dengan mencalonkan diri menjadi Ketua Umum selama Megawati masih mau duduk di sana. Suharto pun yang mencoba mengobok-obok PDI dulu tidak pernah benar-benar berhasil, bahkan berbuahkan kegagalan dengan munculnya PDIP sebagai pemenang Pemilu tahun 1999. Dari sejarah ini tidak ada seorang pun yang punya nyali menantang Megawati. Guruh pun yang mencoba menantang menjadi calon Ketua Umum tidak mendapat perhatian serius, akibat dari kualitasnya yang masih jauh di bawah Megawati. Apalagi isu ketidakjelasan "gender" telah menjadi isu diam-diam banyak dibahas di akar rumput sehingga pasti tidak memungkinkan bagi Guruh untuk menantang sang kakak.

Apalagi media (semua media massa) berfihak kepada Megawati dan PDIP kali ini, karena hampir tidak ada partai oposisi yang mampu mengimbangi pemerintah dan partai yang berkuasa. Apalagi partai-partai besar yang diharapkan beroposisi tidak punya nyali tinggal di luar kekuasaan. Tinggallah partai ini yang mendapat "belas kasihan" media sehingga media sangat toleran dengan konsep kepemimpinan dinasti ini. Suara pengamat pun sepi-sepi dan paling tidak mereka berkepentingan punya partai oposisi yang kuat di Indonesia. Inilah satu-satunya kekuatan Megawati saat ini, teguh berpegang menjadi oposisi. Semua fihak mau tidak mau mengakui keunggulan Megawati ini.

Padahal kita ketahui politik dinasti sebenarnya bukan hal baik dipelihara. Memang bukan barang yang haram keluarga terlibat dalam politik, tetapi kesehatan sebuah partai tidak bisa diharapkan dari suatu dinasti, apalagi kualitas dari keturunan tidak sehebat orang tua mereka. Ada berbagai sebab mengapa dinasti tidak terlalu sehat: pertama, unsur persaingan yang sudah tidak sama dengan masa lalu. Isu yang dihadapi lebih kompleks dan menuntut kader partai terbaik dan bukan dari unsur keturunan dinasti. Bila dari dinasti itu unggul, tentu tidak apa-apa. Masalahnya di dinasti itu sendiri tidak seunggul orang tua mereka. Kedua, ada unsur ketidakpercayaan bila dinasti berikutnya memerintah. Itu terbukti di Pemilu, PDIP tidak akan pernah menang lagi setelah mendapat kesempatan menang tahun 1999. Ketiga, akan banyak kaum oportunis di mana orang berlindung di bawah ketiak pemimpin dan kedekatan dengan pemimpin menjadi jalan pintas untuk mendapatkan tujuannya.

Syukur dinasti politik di Indonesia tidak sehebat di Filipina, di mana presiden saat ini Gloria Macapagal Aroyo adalah anak dari mantan presiden Diosdado Macapagal. Anak-anak mereka pun sudah menjadi anggota konges mewakili Visayas. Sedangkan calon presiden saat ini yang dianggap kuat adalah Benigno Aquino, III. yang adalah anak dari mantan presiden Cory Aquino dan Begino Aquino. Keluarga Aquino dan Congjuangco adalah keluarga yang menguasai perpolitikan di Tarlac City, keluarga tuan tanah yang hebat. Filipina, walaupun negara demokrasi, tetapi politik dinasti sangat kental dan dibarengi dengan pembunuhan lawan politik yang berseberangan. Terlalu mengerikan membayangkan demokrasi ala Filipina. Dan itu terjadi di seluruh Filipina, sampai di otonomi Islam Mindanau tidak luput dari dinasti politik. Tidak mengherankan Filipina bukan negara yang patut dicontohi demokrasinya, di mana kesejahteraan dan demokrasi justru tidak berjalan bersama.

Di Indonesia, partai pemenang pemilu terakhir adalah tidak ada kaitan dengan dinasti sebelumnya. Bahkan PDIP mengalami penurunan secara perlahan di DPR. Namun mulai ada upaya memasukkan anak, menantu, istri sebagai anggota DPR. Tetapi syukur itu baru sebatas itu. Kami berharap media tajam soal ini sehingga masyarakat diingatkan bahwa memilih berdasarkan kualitas dan bukan karena keturunan siapa. Mudah-mudahan apa yang terjadi di Filipina tidak berkembang di sini. Biarkan masyarakat "menghukum" partai yang memasukkan keluarganya sebagai anggota DPR atau pejabat lainnya tanpa kualitas yang jelas.

BIdang Kepemimpinan bisa belajar dari sini. Transfer kekuasaan butuh sebuah persiapan. Bisa saja menyerahkan kepemimpinan kepada anak-anak. Tetapi butuh sebuah persiapan yang matang baik dari segi kualitas si anak, maupun persiapan transisi kesiapan organisasi menerima kepemimpin dinasti ini. Suatu persiapan dari segi mentoring dan persiapan manajemen yang tidak bisa dibuat dalam jangka waktu pendek. Harus ada waktu panjang, termasuk merelakan anak-anak tidak bisa menjadi pemimpin pengganti jika memang tidak berkualitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline