Mitos kepemimpinan di Indonesia mengatakan bahwa “pemimpin bangsa Indonesia sebaiknya orang Jawa” sebenarnya memiliki makna yang kadangkala ada benarnya. Mengapa saya mengatakan demikian?
Memang, salah satu kehebatan Indonesia adalah begitu beragamnya suku dan kaya akan nilai-nilai kehidupan yang luar biasa. Tetapi yang menurut saya menonjol adalah budaya Jawa. Sebagai orang non-Jawa, maka saya mendapat kesan tentang budaya Jawa dengan kesan bahwa nilai-nilai budayanya menekankan kehalusan budi dan cerita serta etikanya dalam dengan falsafah nilai, termasuk di dalamnya etika kepemimpinan. Walaupun nilai-nilai kepemimpinan ada di setiap suku dan perlu digali karena tidak kalah maknanya, tetapi nilai budaya Jawa diajarkan di semua lini strata sosial mulai dari elit sampai ke rakyat jelata, sehingga dia menjadi suatu yang nampak dalam praktika.
Saya juga terkesan setelah membaca buku “More About Beyond Leadership” tulusan Dr. Djokosusanto Moeljono yang salah satu bagiannya membahas juga tentang kepemimpinan Jawa. Salah satu nilai penting dalam kepemimpinan adalah ajaran Hasta-Brata (atau Hasto-Broto) yang asal mulanya dari India (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2008, ha; 70-75). Saya terkesan, karena ternyata nilai-nilai yang penting yang harus dimiliki pemimpin ada dalam budaya Jawa. Bila kepemimpinan tanpa nilai-nilai, maka visi dan misi dipastikan tidak akan ada artinya. Bila di literatur kepemimpinan Barat penekanan kepada pentingnya setiap organisasi membangun nilai-nilai utama (core values), maka nilai-nilai kepemimpinan Jawa yang sudah ditanamkan sejak awal pada diri seseorang di dalam budayanya akan membuat seseorang menjadi pemimpin yang efektif.
Kita akan “review” secara sepintas (bdk. Tulisan Dr. Muljono). Arti “Hasta” adalah delapan dan “Brata” artinya langkah, sehingga Hasta-Brata arinya delapan langkah yang seharusnya dimiliki seorang pemimpin dalam memimpin. Langkah-langkah kepemimpinan itu mengambil delapan nilai (atau watak) dari benda yang ada di alam ini yaitu tanah, api, angin, air, angkasa, bulan, matahari, bintang.
Pertama, tanah yang menggambarkan sifat teguh, sabar, kuat, menerima segalanya, tidak pernah mengeluh, tidak membeda-bedakan, dan menerima apa adanya yaitu apa yang jatuh di atasnya baik yang baik maupun buruk. Gambaran tanah adalah sepatutnya menjadi watak pemimpin yang memiliki ketangguhan dan tidak mudah cengeng.
Kedua, api menggambarkan panas sekaligus suci, di mana berani membakar segala kekurangan dan memperbaiki kembali sehingga menjadi lebih baik. Pemimpin harus tampil berani dalam penegakan hukum, tegas dan tuntas tanpa memandang bulu.
Ketiga, angin menggambarkan keberadaannya di segala tempat, di mana saja ada. Ini menyatakan pemimpin harus ada di di segala lapisan masyarakatnya dan dekat dengan mereka tanpa membedakan berdasarkan status sosialnya. Pemimpin yang berlaku demikian akan membuat mereka tahu apa yang dikehendaki rakyatnya.
Keempat, air dilambangkan dengan mengalir ke mana-mana dan seimbang dirasakan semua. Maka di sini pemimpin harus mengusahakan kemakmuran dan kesejahteraan secara merata dan sama-sama memiliki derajat yang mulia.
Kelima, angkasa adalah berbicara tentang keluasan dalam menampung apa saja. Pemimpin sepatutnya memiliki keluasan hati dan mempunyai hati yang luas sehingga dapat menerima masukan dari bawahannya. Ia juga harus mampu mengendalikan diri terhadap masukan yang pisitif dan negatif dengan penuh kesabaran.
Keenam, bulan menggambarkan sinar terang yang diberikan pada waktu malam. Pemimpin patut menjadi orang yang memberikan terang yaitu semangat, rasa aman, dan kepercayaan kepada rakyat ketika sedang mengalami krisis dan berbagai kegelapan yang dihadapinya termasuk mengangkat dari kebodohan.
Ketujuh, matahari lambang dari sumber energi yang menopang kehidupan semesta dan segala yang ada di bumi. Seorang pemimpin adalah mereka yang mampu membangun daya hidup dan mendorong bawahan atau rakyatnya untuk dapat berkarya.
Kedelapan, bintang menggambarkan suatu benda alam yang menjadi pedoman atau kompas. Di sini pemimpin harus menjadi teladanbagi bawahan atau rakyatnya, dan tidak mudah dipengaruhi untuk berubah-ubah pikiran
Memang apa yang disebutkan dalam Hasta-Brata ini masih idealisasi nilai kepemimpinan karena realitanya hampir tidak ada pemimpin yang begitu memiliki kesempurnaan ini, sebagaimana yang ditulis dalam Hasta-Brata ini. Namun dengan memiliki nilai-nilai kehidupan seperti ini kita akan bisa lebih efektif sebagai pemimpin.
Mudah-mudahan pemimpin di negeri kita mampu terus belajar meningkatkan nilai-nilai itu, karena ketika kredibilitas kepemimpinan menurun, kata dan laku masih seperti pepatah “jauh panggang dari api”, maka nilai-nilai kepemimpinan Jawa ini harus mulai dipelajari kembali. Kewajiban memiliki “core values” pada setiap pemimpin ternyata nilai itu telah ada sejak lama di bumi ini yaitu langkah kepemimpinan “Hasta-Brata”. Bagi saya yang non-Jawa, kita patut juga mempelajari kekayaan nilai kepemimpinan ini. Dan tolong jangan diperdebatkan soal Jawa dan non-Jawa. Ini semata-mata berbicara soal nilai kepemimpinan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H