Lihat ke Halaman Asli

Sinting

Diperbarui: 18 Juni 2015   07:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mengucapkan kata sinting atau gila dalam persahabatan adalah hal biasa. Gila atau sinting bisa sebagai pujian atas keberhasilan atau pencapaian yang spektakuler. Misalnya, gila itu Aljazair, walau kalah bisa mengimbangi Jerman (konteks sepakbola). Gila adalah gambaran kehebatan. Dulu di Bali juga waktu kecil sahabat saya dari Singaraja (Bali Utara) suka menyebut saya anjing (cicing cai) jika berjumpa. Saya pun membalasnya dengan yang sama dan itu gambaran sebuah kebiasaan dan tanda persahabatan yang akrab.

Tapi makna sangat berbeda bila sinting disampaikan dalam konteks pertandingan politik, maka ketika seseorang bicara sinting pada komptetiornya pasti sedang mempertunjukkan kebencian dan arogansi diri yang tiada etika sama sekali. Bisa saja berkilah bahwa yang dimaksud sinting itu gagasannya. Namun apakah gagasan mulia seperti simbol keagamaan sebuah gagasan sinting? Lalu mungkin sinting yang dimaksud adalah janji politik seseorang. Bukankah dalam masa kampanye adalah masa menunjukkan komitmen lewat janji? Apakah berjanjinya yang dianggap sinting? Atau bisa jadi maksudnya orang yang berjanji disebut sinting? Bukankah itu sebuah pendegrasian manusia menjadikan manusia yang disebut sinting bukan manusia normal?

Bisa jadi banyak cara untuk mengelak dan kawan membela serta bersilat kata. Namun biar bagaimanapun ketika diucapkan dalam konteks pertandingan politik, lawan yang melontarkan kata sinting menandakan ketidakpedulian pada penghargaan pada sesama manusia. Kemaruk berkuasa telah membuat orang kehilangan akal sehat dan nafsu kekuasaan menyebabkan tidak melihat orang lain sebagai manusia. Menyebut sinting adalah tanda peremehan yang tidak layak diungkapkan siapapun sebagai manusia beradab. Penyebutan sinting telah menempatkan diri pada arogansi tak terkira dan chauvinisme fasis yang menaruh diri pada pikiran untuk mengeyahkan pihak yang berbeda. Ini membuat hanya dirinya yang benar dan normal, sedangkan orang yang tidak sejalan dan beda pendapat adalah manusia tidak normal. Saya kira sudah waktunya para pemimpin bicara santun dan menghargai perbedaan. Alangkah ngeri bila dalam alam demokrasi kita orang yang berbeda dianggap sinting. Ini tanda-tanda kediktaktoran. Sungguh belum layak rasanya memimpin negeri ini bila para pemimpin hanya merasa diri benar dan normal. Saya tidak mau ke zaman diktator itu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline